TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang praperadilan Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru Ginting, Kamis, 16 November 2017. Dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal Lenny Wati Musimadhi ini, penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya menghadirkan tiga ahli sebagai saksi. Namun tim kuasa hukum keberatan dengan tiga saksi itu.
"Keberatan oleh didasari pada Pasal 186 dan 187 huruf c dan d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," kata Djudju Purwantoro, pengacara Jonru, melalui keterangan tertulisnya, Kamis, 16 November. Alasannya, ketiga saksi tidak memiliki kelengkapan administrasi dan terdapat kesalahan ketik dalam surat tugasnya.
Tiga saksi yang dihadirkan itu adalah ahli agama M. Nur Irfan, ahli hukum pidana Efendi Saragih, dan ahli digital forensik Saji Parwanto. Djudju mengatakan Nur Irfan dan Efendi Saragih disebut sebagai dosen di Universitas Islam Negeri. Namun mereka tidak membawa surat tugas dari instansi tempat mengajar.
Sedangkan Saji Parwanto membawa surat tugas resmi dari Kepolisian Republik Indonesia, tapi ada kesalahan ketik perihal status Jonru. "Jonru disebut sebagai terdakwa, padahal statusnya masih tersangka," kata Djudju.
Jonru Ginting ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan ujaran kebencian. Ia dilaporkan terkait dengan status Facebook-nya yang berbunyi, “1945 Kita Merdeka dari Jajahan Belanda & Jepang. 2017 Kita BELUM Merdeka dari Jajahan Mafia Cina.”
Ralat:
- Pada alinea ketiga dan keempat sebelumnya ditulis ahli digital forensik bernama Suparjianto. Seharusnya Saji Parwanto.
- Pada alinea terakhir sebelumnya: “Indonesia dijajah Belanda dan Jepang pada 1945, tapi pada 2017 dijajah etnis Cina.”