TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh dan pemerhati budaya Betawi mempersoalkan temuan identitas baru ikon jawara Betawi, Si Pitung, yang diungkap dalam buku Pitung (Pituan Pitulung) karya Iwan Mahmoed Al Fattah.
“Yang kami ketahui, Pitung itu satu, kenapa (di buku menjadi) tujuh? Makanya kami pertanyakan,” kata Ketua Komunitas Betawi Kita Roni Adi Sikumbang dalam diskusi berjudul “Orang Betawi dan Cerita Si Pitung” di gedung Balai Latihan Kesenian, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 25 November 2017.
Baca: Kenapa Kampung Betawi Tergusur? Ini Penjelasan Arkeolog
Buku Pitung (Pituan Pitulung) dianggap kontroversial oleh tokoh masyarakat Betawi karena di dalam buku itu diceritakan bahwa Pitung adalah kelompok pejuang yang terdiri atas tujuh orang, bukan hanya seorang pendekar pejuang yang selama ini diyakini banyak orang. Pitung juga bukan nama orang, melainkan akronim dari nama kelompok tujuh orang tersebut, yakni pituan pitulung atau Pitung.
Iwan Mahmoed Al Fattah menerangkan, sumber sejarah tentang tujuh sosok Pitung itu diambil dari kitab Al Fatawi karya Datuk Meong Tuntu, yang disalin kembali oleh Kiai Ahmad Syari'i Mertakusuma pada 1910. Naskah berbahasa Arab-Melayu tersebut didapat oleh Iwan pada 2014.
"Di dalam kelompok itu memang ada yang paling menonjol, sehingga orang memahami bahwa Pitung itu cuma satu, yakni Radin Muhammad Ali Nitikusuma,” ujar Iwan.
Menanggapi buku tersebut, Ketua Dewan Pembina Redaksi Betawi Indonesia Nurjanah menganggap sumber yang dijadikan dasar sejarah oleh Iwan tidak cukup. Iwan juga tidak mewawancarai orang-orang yang masih mempunyai hubungan kerabat dengan Si Pitung versi masyarakat selama ini sebagai bahan pembanding.
“Kerabat Pitung tidak dilibatkan dalam proses pembuatan buku ini,” ucap Nurjanah.
Tokoh Betawi dari Komunitas Baca Betawi, Asep Setiawan, bahkan meragukan kebenaran naskah Al Fatawi yang digunakan Iwan. Asep khawatir kitab Al-Fatawi ini sama dengan naskah Wangsakerta dan Babad Indramayu yang sempat digunakan sebagai dasar sejarah tapi ternyata palsu. “Saya khawatir nasibnya akan sama seperti keduanya.”
Adapun Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara Munawar Holil mengapresiasi buku Iwan karena dianggap sebagai sesuatu yang baru. Jika selama ini kebanyakan naskah yang digunakan sebagai dasar sejarah pahlawan Betawi Si Pitung berasal dari catatan orang Belanda atau orang Eropa Barat, Iwan membuatnya dari naskah orang Indonesia.
Di sisi lain, Munawar menyebut dibutuhkan penelitian tersendiri terhadap kitab Al Fatawi, baik secara filologi, kodikologi, maupun paleografinya. Menurut filolog dari Univesitas Indonesia itu, penting adanya sumber lain dalam menulis sejarah Betawi serta sikap kritis terhadap sumber-sumber itu. “Tidak bisa hanya bersandar dari satu sumber,” tutur Munawar.