TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa ujaran kebencian, Asma Dewi, mengajukan saksi ahli yang meringankan dalam sidang lanjutan perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 23 Januari 2018. Dalam agenda sidang hari ini, kubu Asma Dewi mendatangkan ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli media sosial.
Dalam persidangan, ahli bahasa Universitas Negeri Jakarta, Erfi Firmansyah, mengatakan unggahan beberapa pernyataan Asma Dewi di akun media sosialnya bukan termasuk ujaran kebencian. Adapun unggahan yang dimaksud adalah kata “rezim”, “koplak”, “Cina”, dan “edun”.
"Saya menganalisis satu per satu posting-an, tidak secara kait-mengait. Jadi apa yang disampaikan satu, dua, tiga, empat, atau lebih (unggahan) itu lebih banyak merupakan kritik, seperti “rezim” tadi," ucap Erfi dalam persidangan.
Pada 22 Juli 2016, akun Facebook Asma Dewi menyebarkan video Primetime News tayangan Metro TV dengan judul “Mentan yakin impor jeroan stabilkan harga” dengan komentar “edun”. Lalu, Asma Dewi mengunggah ulang dan menanggapinya dengan komentar, “Rezim koplak. Di luar negeri di buang, di sini disuruh makan rakyatnya.”
Ketua majelis hakim, Aris Bawono, mempertanyakan makna koplak yang ditulis Asma Dewi. Soalnya, makna kata tersebut apakah bisa diartikan sebagai ungkapan bodoh atau gila.
Namun Erfi menuturkan koplak tidak bisa disamakan dengan gila atau bodoh. Namun, ucap Erfi, koplak merupakan kata yang bermakna lucu atau gokil. "Maknanya tidak bisa diartikan menurut kultur Jawa atau Batak. Sebab, disampaikannya di Jakarta."
Selain itu, penuntut umum bertanya kepada Erfi terkait dengan makna edun. Menurut jaksa, edun seperti bermakna edan atau gila. Namun Erfi menyatakan kata tersebut tidak mempunyai makna. "Artinya tidak ada di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)."
Lebih jauh, ia menuturkan makna unggahan yang ditulis Asma Dewi hanya diketahui yang bersangkutan. Jadi, kata yang diunggahnya tidak bisa disebut sebagai ujaran kebencian. "Yang tahu makna yang diucapkannya hanya yang bersangkutan," katanya.
Selain menghadirkan Erfi, kubu Asma Dewi mendatangkan ahli media sosial politik kebangsaan, Alvin Yudistira, dan Abdul Chair Ramadhan, ahli pidana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam. Sidang sempat diskors pada pukul 18.00 dan dimulai lagi pukul 20.00 untuk meminta keterangan saksi ahli pidana dan media sosial.