TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan kepolisian bekerja keras untuk menyelesaikan kasus penyiraman menggunakan air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Indikasinya, sudah sembilan bulan kasus itu berjalan, tapi hingga kini belum juga terungkap.
"Kepolisian kelihatan sekali desperate terhadap kasus ini," ujar Adrianus di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kamis, 25 Januari 2018. Efeknya, kata Adrianus, polisi pun mengejar segala peluang informasi yang ada untuk bisa memecahkan kasus yang terjadi pada April 2017 tersebut.
"Baik dari saksi, lokasi, maupun bukti-bukti digital, termasuk juga dari perkataan Novel sendiri," katanya. Meskipun hingga kini Novel belum diperiksa secara resmi.
Dampaknya, Adrianus melanjutkan, pergerakan polisi menjadi sangat bergantung pada informasi yang sedang berkembang, padahal tidak semuanya akurat. “Imbasnya, ada saja saksi yang dipanggil, padahal tidak terbukti terlibat dalam kasus itu,” ucapnya.
Akibat ketidakakuratan itu, kata dia, sangat mungkin terjadi mal-administrasi dan ada saksi kasus Novel Baswedan, yang akhirnya merasa dirugikan, misalnya Muhammad Lestaluhu, petugas keamanan di sebuah tempat hiburan di Jakarta Pusat. Dia akhirnya diberhentikan kantornya lantaran bosnya merasa gerah dengan statusnya, yang mengakibatkan dia kerap diburu pewarta.
"Bukan hanya Lestahulu, ada beberapa yang tidak bisa kami sebutkan, yang sebetulnya mengalami situasi yang sama," ucap Adrianus. Beberapa di antaranya itu, kata dia, termasuk pemanggilan terhadap sejumlah aktivis, seperti Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzhar dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa.
Menurut Adrianus, pemeriksaan terhadap mereka bukanlah sebuah langkah kriminalisasi atau membungkam, melainkan kepolisian sangat membutuhkan petunjuk pemecahan kasus ini.
Sudah hampir sembilan bulan kasus penyiraman air keras terhadap Novel belum kunjung terungkap. Sebelumnya, juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, menuturkan telah ada 1.058 laporan masyarakat ke hotline Polda Metro Jaya.
Namun hingga kini tidak satu pun pelapor yang memberikan informasi berguna tentang kasus yang terjadi pada April 2017 itu. Alih-alih memberikan informasi yang signifikan, sebagian besar pelapor malah mengisengi polisi.
Penyiraman air keras terhadap Novel terjadi pada 11 April 2017 dan diduga dilakukan dua orang yang berboncengan dengan sepeda motor. Penyerangan terjadi ketika Novel pulang seusai salat subuh di Masjid Al-Ikhsan dekat rumahnya, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Sketsa wajah orang terduga penyerang Novel dibuat Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System Polri bersama Australian Federal Police. Bahannya diambil dari rekaman closed-circuit television (CCTV) di tempat kejadian. Penyidik juga telah memeriksa 66 saksi.
Argo menuturkan, selain terus mengusut dan menyebar sketsa wajah, polisi terus mengevaluasi efektivitas layanan hotline untuk mencari pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan. "Sampai sekarang masih belum mendapatkan informasi yang signifikan, tapi penyidik masih tetap berjalan, bekerja untuk mencari siapa, sih, pelakunya," tuturnya.