TEMPO.CO, Jakarta -Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan tanggapan penolakan Komunitas Betawi atas rencana pergantian nama jalan Mampang Raya dan Warung Buncit Raya menjadi Jalan Jenderal Besar A.H. Nasution.
Dia menyampaikan bahwa keputusan perubahan nama jalan tersebut baru sebatas perencanaan dan akan melibatkan masyarakat dalam prosesnya.
"Sebelumnya, saya ingin memastikan, wacana pergantian nama sejumlah ruas jalan itu masih sebatas perencanaan. Kemudian yang kedua, proses pergantian nama itu tidak sederhana," kata Anies Baswedan di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu 31 Januari 2018.
Anies Baswedan juga merujuk pada suatu aturan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Tanah dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan tersebut tidak melibatkan masyarakat.
Baca : Komunitas Betawi Buat Petisi Tolak Penggantian Nama Jalan Buncit
"Saya malah mau melakukan revisi atas Kegub itu. Kenapa? Karena dalam Kegub itu tidak melibatkan unsur masyarakat, unsur sejarawan, unsur budayawan, unsur ahli tata kota," kata Anies Baswedan. Sebelum direvisi, ia akan melakukan kajian terhadap Keputusan Gubernur tersebut.
Anies Baswedan juga menyampaikan bahwa ide penamaan jalan yang diusulkan oleh Ikatan Keluarga Nasution tersebut memang cukup penting. Namun untuk waktu dan lokasinya sendiri masih dipertimbangkan.
"Saya termasuk merasa nama Abdul Haris Nasution perlu diabadikan," kata Anies Baswedan.
Komunitas Betawi menolak pergantian nama Jalan Mampang dan Buncit Raya menjadi Jalan Jenseral Besar A.H. Nasution. Anggota Komunitas Betawi Kita, Yahya Andi Saputra, mengatakan telah membuat petisi terkait adanya upaya penggantian nama jalan tersebut.
"Sejumlah komunitas Betawi telah menandatangani petisi penolakan penggantian nama jalan itu. Kami harap Gunernur DKI Jakarta Anies Baswedan bisa menghentikan upaya penggantian nama jalan," kata Yahya lewat pernyataan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 31 Januari 2018.
Menurut dia, nama Jalan Mampang dan Warung Buncit merupakan manifestasi dari nama-nama kampung Betawi di Jakarta. Untuk itu, jangan sampai nama jalan tersebut berganti nama. Apalagi, lebih seperempat abad terakhir ini sudah begitu banyak nama-nama kampung dan jalan-jalan yang mengacu kepada memori kolektif masyarakat Betawi yang lenyap.
Gilas roda pembangunan, kata Yahya, bukan saja telah membuat orang Betawi tergusur dari kampung kelahirannya. Bahkan, memori sejarah mereka yang hidup di dalam sejumlah nama jalan, juga nama kampung pun dihilangkan.
FADIYAH | DA