TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu konsumen pulau reklamasi C dan D, Lucia, merasa telah dikriminalisasi pengembang, PT Kapuk Naga Indah (KNI). Pekan lalu, dia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik.
"Jelaslah merasa dikriminalisasi. Saya salah apa? Saya ini konsumen," ujar Lucia saat ditemui di Kantor Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Februari 2018, di balik kisruh izin pulau reklamasi itu.
Kejadian bermula saat pertemuan PT Kapuk Naga Indah dengan pembeli properti di Pulau C dan D pada 9 Desember 2017. Saat itu, terjadi kericuhan karena pembeli mempertanyakan status perizinan dan hak mereka atas properti di Teluk Jakarta yang sudah dibayar.
Baca: Pencemaran Nama Baik, Konsumen Pulau Reklamasi Ini Jadi Tersangka
Seseorang dalam pertemuan tersebut merekam keributan yang terjadi dan menyebarkannya ke media sosial. Lantaran kejadian itu, pihak Agung Sedayu Group, melalui Lenny Marlina, melaporkan hal tersebut kepada kepolisian pada 11 Desember 2017.
Lucia merasa kasusnya itu berbeda dengan William Kimiadi, yang sebelumnya dijadikan tersangka lantaran menyebarkan video percekcokan itu di dunia maya. "Dia memang melanggar UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik)," ucapnya.
Ia pun sempat meminta pihak pengembang segera membuat koreksi atas pemberitaan William karena itu dia nilai sesat. "Itu ngaco," tuturnya.
Sedangkan kasusnya, menurut Lucia, adalah hal yang wajar bagi konsumen untuk mempertanyakan haknya. Dia merasa uang yang telah dia cicil kepada pengembang kini tidak jelas nasibnya. "Saya harusnya boleh bertanya," katanya. "Sekarang bertanya saja tidak boleh."
Lucia berujar, selama ini, dia dan dua konsumen yang juga dipanggil polisi, Lili Sunarti dan Fellicita Susantio, memang konsumen yang kerap mempertanyakan kelanjutan nasib konsumen pulau sintetis itu. Bahkan Lucia mengaku ditunjuk pihak pengembang menjadi penghubung antara pengembang dan konsumen.
"Saya sebenarnya ditunjuk oleh mereka (PT KNI), lho, untuk menjadi person in contact," ujarnya.
Lucia merasa hal yang dia sampaikan itu tidak mengandung unsur pencemaran nama baik ataupun fitnah. Dia memang mengakui sempat melontarkan kalimat, "Pengembang tidak bertanggung jawab." Namun dia memiliki alasan atas ucapan itu.
Para konsumen, kata dia, merasa pengembang lepas tangan dan tidak mau menemui konsumen untuk mencari solusi bersama. Dia berujar para konsumen sejak awal sudah percaya kepada pengembang bahwa perusahaan properti itu bisa menyelesaikan proyeknya.
"Pas pertama membeli kan kami tahunya izin ada. Kita minta diperlihatkan izinnya," ucapnya. Setelah proyek berjalan dan kemudian dimoratorium, barulah para konsumen mengetahui pengembang pulau reklamasi itu belum mengantongi sejumlah perizinan.