TEMPO.CO, Jakarta - Langkah mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mengajukan peninjauan kembali (PK) atas vonis dua tahun penjara dalam perkara penistaan agama mengundang reaksi dari perkumpulan, yang menamakan diri Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA).
"Kami menolak karena (Mahkamah Agung/MA) melakukan penegakan hukum yang diskriminatif, karena ada akal-akalan hukum, karena aturan hukum banyak ditabrak tidak sesuai dengan aturan hukum, bukan karena kebencian," kata anggota TPUA, Eggi Sudjana, di kantornya, Tanah Abang, Jakarta, Senin, 19 Februari 2018.
Simak: Rincian Tuntutan dalam Vonis Ahok soal Kasus Penistaan Agama
Pada Sabtu, 17 Februari 2018, beredar salinan berkas yang diduga memori PK perkara pidana penistaan agama atas nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada MA. Berkas diserahkan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2 Februari 2018. Dalam berkas tercantum nama Law Firm Fifi Lety Indra & Partners.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah membenarkan bahwa terpidana perkara penistaan agama, Ahok, telah mengajukan memori PK. Berkas dimasukkan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara. “Saat ini belum diterima berkasnya oleh MA,” ujar Abdullah saat dihubungi Tempo pada hari yang sama.
Menurut Eggi, kalau memang waktu hak Ahok sebagai hak hukumnya melakukan banding, kemudian dia PK, itu merupakan hal yang pantas. "Enggak ada kewenangan saya mau melakukan ini, untuk apa? Saya ngada-ngada, dong, berarti. Justru di sini yang mengada-ada Ahok," ucapnya.
Eggi menilai, sebelum PK, mesti ada tiga unsur penting, yaitu novum, kekhilafan hakim, dan penerapan hukum yang tidak sistematis atau berbeda-beda.
"Yang hak PK adalah yang korban atau yang sudah jadi terdakwa dan kemudian dipidana. Nah, itu urutannya. Setelah sidang pertama pengadilan negeri kan mesti ada sidang banding, kalau dia tidak terima pengadilan negeri, yang pertama itu. Kalau kalah lagi, dia boleh kasasi. Kalau kalah lagi, dia temukan tiga tadi yang sudah saya sebut, itu baru dia boleh PK," tuturnya. Atas dasar tersebut, Eggi menilai PK yang diajukan Ahok dan diterima MA tidak logis.