TEMPO.CO, Jakarta - Terpidana perkara pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Buni Yani, mengomentari alasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) vonis penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Menurut dia, Ahok tak bisa begitu saja bertumpu pada vonis 1 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Bandung kepadanya. "Putusan (perkara) saya saja belum inkracht (berkekuatan hukum tetap), mestinya belum bisa (jadi dasar Ahok mengajukan PK)," kata Buni Yani kepada Tempo di sela acara ulang taun ke-1 organisasi Bang Japar di Aula Perumahan DPR Kalibata pada Ahad, 25 Februari 2018.
PN Bandung memutuskan, Buni Yani terbukti melanggar Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE karena terbukti mengedit dan mengubah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu.
Baca: Alumni 212 Ancam Demo Sidang PK Ahok, Pengacara Ahok Sebut Tak Mempan
Pada 14 November 2017, PN Bandung menjatuhkan vonis buat Buni Yani 1 tahun 6 tahun penjara. Belakangan, Buni Yani mengajukan banding.
Berbeda dengan vonis Ahok, hakim tak memerintahkan Buni Yani harus segera masuk penjara. "Menimbang bahwa selama persidangan terdakwa tidak ditahan, tidak cukup alasan untuk ditahan, maka terdakwa tidak ditahan," kata Hakim PN Bandung, Saptono, pada saat membacakan putusan di Gedung Arsip, Jalan Seram, Kota Bandung, Selasa, 14 November 2017.
Akibat penyebaran rekaman video Ahok yang sudah diedit tadi, Ahok yang kala itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta menjadi tersangka. Kemudian pada Mei 2017, PN Jakarta Utara menyatakan Ahok menista agama sehingga dihukum 2 tahun penjara.
Nah, setelah Budi Yani diputus bersalah, Ahok menggunakan putusan itu untuk mengajukan PK ke Mahkamah Agung melalui PN Jakarta Utara pada Jumat, 2 Februari 2018. Sidang perdana PK Ahok digelar pada Senin, 26 Februari 2018, di PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada.
Menurut Buni Yani, tidak masuk jika putusan yang belum inkracht dijadikan dasar pengajuan PK. Putusannya bisa dijadikan dasar PK oleh Ahok jika sudah berkekuatan hukum tetap. "Sekarang saya masih menunggu putusan (banding)," ujarnya.
Apalagi, dia melanjutkan, perkara dirinya dan Ahok sangat berbeda. Ahok divonis bersalah dalam perkara penistaan agama, yang didakwa dengan Pasal 156 a KUHP. Sedangkan, Buni Yani didakwa Pasal 32 A ayat 1 Undang-undang ITE.
Sebaliknya, Budi Yani menyindir pengajuan PK itu sebab Ahok tak pernah mengajukan banding atau kasasi atas putusannya. "Apakah boleh mengajukan PK? Saya tidak mau komentar."
Sebelumnya, praktisi hukum Ruhut Sitompul menilai penggunaan referensi kasus Buni Yani dalam upaya hukum pengajuan PK oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah tepat. Hal tersebut merujuk pada status Buni Yani yang dinyatakan bersalah tapi tidak dipenjara.
"Buni Yani biang keroknya (yang menyebabkan Ahok dipenjara) aja gak masuk penjara," kata Ruhut, Kamis, 22 Februari 2018, di Jakarta.
Pakar hukum pidana Andriyanto Seno Adji pun menilai putusan Buni Yani dapat dijadikan novum dalam PK Ahok. Novum tersebut berupa keadaan baru karena vonis yang dijatuhkan kepada Buni Yani pada November 2017, sedangkan Ahok divonis enam bulan sebelumnya, yakni Mei 2017.
"Sangat boleh sebagai novum berupa keadaan baru yang andai kata keadaan baru itu ada sebelum keputusan Ahok, maka keputusan Ahok adalah berupa pembebasan," kata dia, Kamis, 22 Februari 2018.
Pengacara Ahok, Josefina Agatha Syukur, tidak ingin menyampaikan secara detail mengenai alasan permohonan PK Ahok. Dia tidak memberikan jawaban pasti mengenai keterkaitan pengajuan PK dengan vonis Buni Yani. "Saya enggak mau berkomentar, tunggulah sidang perdana tanggal 26 Februari 2018," ujar Josefina.