TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Daerah Metro Jaya akan mengirim hasil pemeriksaan sindikat skimming ATM kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Nico Afinta menyebutkan keterlibatan PPATK dibutuhkan guna menelusuri dugaan pencucian uang oleh sindikat skimming ATM.
"Kami akan adakan pembicaraan segera dengan PPATK soal ini," katanya saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu, 21 Maret 2018.
Lembaga yang dipimpin Kiagus Ahmad Badaruddin tersebut, ucap Nico, akan memiliki peran penting dalam pengusutan perkara skimming ini. Sebab, PPATK memiliki jaringan internasional dengan lembaga serupa di negara lain.
Baca: Jadi Tersangka Skimming ATM Nasabah, Apa Peran Perempuan Ini?
Saat ini, kepolisian telah menangkap lima anggota sindikat skimming ATM dan pembobol data nasabah yang telah menyebabkan kerugian hingga miliaran rupiah. Sebanyak 3 orang merupakan warga Rumania, 1 orang Hungaria, 1 warga Bulgaria, dan satu orang Indonesia. Dalam pemeriksaan, sindikat ini diketahui mengalirkan uang hasil curian untuk pembelian Bitcoin, sejenis mata uang virtual.
PPATK pun turun tangan menelusuri kasus ini. "Desk Fintech and Cyber Crime PPATK akan berkoordinasi dengan Cyber Crime Bareskrim Polri," ujar Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae melalui pesan pendek kepada Tempo di Jakarta, Sabtu, 17 Maret 2018. Meski pengungkapan kasus ini disampaikan Polda Metro Jaya, pencurian nasabah juga menyebar hingga Bandung, Yogyakarta, dan Kediri.
Baca: Uang Nasabah Hilang Akibat Skimming Dikembalikan, Begini Caranya
Penyidik, kata Nico, akan merampungkan berkas pemeriksaan kelima pelaku lebih dulu. Menurut dia, bukti-bukti dari tindak pidana pencucian uang perlu dirinci. "Setelah itu rampung, nanti kami akan serahkan berkasnya ke PPATK untuk ditelusuri," ucap Nico.
Dalam berkas pemeriksaan awal, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya telah menjerat para tersangka skimming ATM menggunakan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Pencucian Uang dengan ancaman maksimal 20 tahun bui. Tak hanya dengan PPATK, ujar Nico, pembicaraan juga dilakukan dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.