TEMPO.CO, Jakarta - Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) bersiap mengajukan gugatan class action menyusul laporan hasil akhir pemeriksaan (LHAP) Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya tentang maladminsitrasi penataan kawasan Tanah Abang. Kelompok ini dekat dengan Partai Gerindra, partai pendukung Gubernur Anies Baswedan.
"Kami akan mendaftarkan gugatan class action (terhadap Ombudsman RI) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Senin minggu depan," kata Ketua ACTA Kris Ibnu melalui keterangan tertulis hari ini, Rabu, 28 Maret 2018.
Menurut Kris, dalam gugatan nanti ACTA menuntut Ombudsman RI dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan dalam penanganan seluruh laporan. Yang ketiga, Ombudsman harus meminta maaf secara terbuka kepada rakyat Indonesia.
Baca: Mengenal ACTA yang Gemar Laporkan Ahok Hingga Jokowi
Gugatan itu didasari dugaan bahwa Ombudsman menerapkan standar ganda dalam memeriksa laporan dari masyarakat. Ombudsman dianggap tak merespons laporan Wakil Ketua ACTA Ali Lubis tentang dugaan maladministrasi pertemuan Presiden Joko Widodo dengan petinggi Partai Solidaritas Indonesia di Istana Presiden pada 1 Maret 2018. Namun, soal dugaan maladministrasi kebijakan penataan kawasan Tanah Abang yang dibuat Anies Baswedan, Ombudsman cepat bergerak.
Senin lalu, 26 Maret 2018, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya mengungkapkan empat tindakan maladministrasi dalam kebijakan menutup Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, dan mengisinya dengan pedagang kaki lima (PKL). Bahkan, pemerintah provinsi di bawah kendali Gubernur Anies Baswedan itu melanggar lima aturan perundangan.
Maka dari itu, Ombudsman Jakarta memberi waktu selambat-lambatnya 60 hari kepada Anies Baswedan untuk melakukan perbaikan. Jika laporan tak diindahkan, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya akan mengusulkan kepada Ombudsman RI untuk menaikkan status LHAP menjadi rekomendasi yang lebih berkekuatan hukum dan wajib ditaati.
Kepada Tempo via telepon, Kris mengklaim ACTA tak menuntut Ombudsman mencabut LAHP kebijakan penataan Tanah Abang. Tapi, Ombudsman dituntut memproses laporan mereka tentang dugaan maladminsitrasi pertemuan Jokowi dan PSI di Istana.
"Harus disamain dong. Jangan sana (Jokowi) anak emas, sini anak tiri," katanya.
Adapun dalam siaran persnya, Kris menuturkan bahwa dasar pelaporan dugaan maladministrasi pertemuan Jokowi dengan PSI itu sangat kuat, yakni Istana tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok orang. Namun, laporan tersebut nyaris ditolak Ombudsman dengan berbagai dalih, di antaranya karena tak ada AD/ART organisasi ACTA dan tidak mencantumkan identitas terlapor.
"Ombudsman mengolok-olok kami dengan mengatakan ke media bahwa kami hanya curhat karena tidak menyebutkan identitas terlapor," ucapnya. "Padahal dalam Undang-Undang Ombudsman tidak ada aturan (pengaduan) harus mencantumkan terlapor."
Sebaliknya, Kris berpendapat, penataan Tanah Abang bukan domain Ombudsman sebab tidak menyangkut pelayanan publik, seperti yang diatur dalam Undang-undang Ombudsman RI dan Undang-Undang Pelayanan Publik. Dia lantas membela Anies Baswedan dengan mengatakan, sebagai orang nomor satu di DKI Anies berwenang mengeluarkan diskresi, antara lain menutup Jalan Jatibaru Raya.