TEMPO.CO, Jakarta - Potensi bencana banjir dan tanah longsor di kawasan daerah aliran sungai (DAS) Cisadane meningkat karena terjadinya penggundulan hutan di Gunung Salak, Kabupaten Bogor.
Direktur Perencanaan, Evaluasi, dan Perencanaan Daerah Aliran Sungai, Yuliarto Joko Putranto mengatakan, dari 152.576 hektare luas DAS Cisadane, terdapat 71.938 hektare yang berpotensi sangat rawan longsor. Jumlah ini belum ditambah 61.260 hektare yang masuk kategori rawan.
Koran Tempo edisi Senin 2 April 2018, menulis soal kawasan DAS Cisadane. Laporan tersebut linear dengan temuan limpasan banjir di kawasan, atau tepat di area lereng Gunung Salak.
Baca: Puncak Makin Botak, 5.700 Hektare Hutan Lenyap dalam 16 Tahun
Yuliarto menemukan ada 31.128 hektare wilayah yang sering diterjang banjir bandang dengan tingkat ekstrem. Sebanyak 91.680 hektare lainnya rawan limpasan banjir dalam tingkat tinggi. "Di hulu Cisadane memang rawan banjir," ucap dia.
Yuliarto juga menemukan data tren debit banjir di kawasan DAS Cisadane terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, debit banjir hanya 538 meter kubik per detik. Jumlah ini melonjak drastis menjadi 572 meter kubik per detik pada 2017. Hitung-hitungan ini didapat dari analisis intensitas curah hujan 86,4 milimeter per hari.
Lonjakan debit air tersebut diperkirakan terjadi lantaran deforestasi dan alih fungsi lahan di kawasan hulu Cisadane. Kementerian mencatat adanya lonjakan alih fungsi lahan dari pertanian atau perkebunan menjadi area permukiman.
Pada 2009 luas permukiman hanya 19.437 hektare, lalu bertambah menjadi 23.526 hektare pada 2013 dan menjadi 34.756 hektare pada 2017 di seluruh kawasan DAS Cisadane.
Temuan ini berbanding lurus dengan hilangnya hutan primer (hutan perawan) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang mencapai 9,26 hektare dari total 737 hektare pada 2009. Selain itu, kawasan pertanian mengalami penyusutan dari 54.997 hektare pada 2009 menjadi 18.903 hektare pada 2017.
Peneliti Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, mengatakan alih fungsi kawasan hutan dan pertanian lebih banyak terjadi di kawasan Gunung Salak Endah, atau sisi barat Gunung Salak. "Di sana banyak dibangun vila-vila," tutur dia.
Menurut dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berperan “mengatur” legalitas deforestasi di kawasan hutan konservasi. Seperti halnya yang terjadi di Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna di kawasan Puncak, Anggi mengatakan, "Padahal kawasan itu adalah area penyangga dari bencana banjir."
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Awen Supranata, menjelaskan tidak ada lahan di kawasannya yang berubah fungsi. Atau, sampai mengalami seperti yang terjadi di kawasan Puncak, yang diduga dicaplok vila pejabat.
Kepemilikan lahan dan bangunan ia pastikan berada di luar kawasan TNGHS. "Yang penting, mereka tidak menduduki lahan hutan negara," ucap dia.
Simak: Pemkab Bogor-Perhutani Akan Bongkar Vila Liar Puncak di Cisadon
Awen menjelaskan, total luas kawasan TNGHS mencapai 87 ribu hektare. Jumlah itu terbagi atas zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, dan zona khusus. Kata dia, zona inti dan rimba adalah hutan alam yang belum tersentuh manusia. Sedangkan zona pemanfaatan tradisional adalah lahan budidaya tradisional untuk masyarakat setempat. Adapun zona khusus adalah daerah latihan militer.
Kata dia, sampai saat ini tercatat ada beberapa jenis satwa endemik yang masih hidup di Gunung Salak. Di antaranya macan tutul, owa jawa, dan elang jawa. Menurut Awen, habitat hutan di Gunung Salak lebih terjaga ketimbang kawasan di area Puncak, Kabupaten Bogor.