TEMPO.CO, Jakarta -Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda berpendapat pendekatan restorative justice sulit digunakan untuk menangani kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Sukmawati Soekarnoputri.
Alasannya, pendekatan ini biasanya digunakan untuk kasus-kasus yang korbannya perseorangan bukan di kasus Sukmawati Soekarnoputri. "Saya pikir agak jauh kalau menerapkan restorative justice," kata Chairul kepada Tempo, Rabu, 4 April 2018.
Baca : Polisi Lakukan Pendekatan Restorative Justice Terhadap Sukmawati Soekarnoputri
Restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan pendekatan ini akan digunakan terkait laporan penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Sukmawati Soekarnoputri.
Putri Presiden Soekarno itu dilaporkan lantaran puisinya yang berjudul "Ibu Indonesia" dianggap menyinggung agama Islam.
Sukmawati dianggap menista agama lantaran menyebut ihwal syariat Islam, cadar, hingga suara azan di dalam puisinya. Polda Metro Jaya menerima laporan dugaan penistaan agama ini dari pengacara Denny Andrian Kusdayat.
Chairul Huda menerangkan, ketersinggungan keagamaan semacam ini sulit untuk dipulihkan. Selain lantaran banyak orang merasa menjadi korban, Sukmawati sempat dianggap melakukan pembenaran atas puisinya, sebelum akhirnya menyampaikan permintaan maaf.
"Restorative justice biasanya kasus individual, bukan yang korbannya kolektif seperti ini," ujar Chairul tentang kemungkinan solusi kasus Sukmawati Soekarnoputri. Adapun Argo menyampaikan, pendekatan restorative justice merupakan pilihan awal. Jika tak mungkin dilakukan, kata Argo, kepolisian akan menindaklanjuti laporan.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | ANDITA RAHMA