TEMPO.CO, Jakarta - Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta berkukuh menolak swastanisasi air di ibu kota. Ketua TGUPP Amin Subekti mengatakan tim gubernur akan mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) ihwal penghentian swastanisasi tersebut.
"Kami ngikutin MA saja, kan sudah jelas keputusannya," kata Amin kepada Tempo di kantornya, Selasa, 17 April 2018. Pernyataan Amin ini sekaligus menjawab polemik rencana restrukturisasi kontrak Perusahaan Daerah Air Minum (PAM) Jaya dengan dua mitranya, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra). Sebelumnya, PAM Jaya berencana melakukan penandatanganan perjanjian restrukturisasi pada Rabu, 21 Maret 2018.
Rencana itu batal lantaran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin mengetahui terlebih dulu poin-poin rancangan kontrak restrukturisasi itu. Anies Baswedan mengaku sebelumnya tak pernah diajak berdiskusi soal rencana restrukturisasi itu. Anies kemudian menugasi TGUPP melakukan peninjauan atas draft kontrak tersebut.
Amin menolak merinci sejauh mana peninjauan yang sudah dilakukan tim gubernur. Dia hanya menegaskan, segala kebijakan yang diambil terkait pengelolaan air bersih dan air minum di Jakarta harus mengacu kepada peraturan yang ada. Sebab, kata dia, permasalahan air menyangkut hajat hidup orang banyak dan bukan korporasi semata.
Termasuk rencana restrukturisasi kontrak PAM Jaya dan kedua mitranya, kata Amin, harus sepengetahuan pemerintah DKI sebagai pemegang saham. "Jangan lupa, pemprov itu pemegang saham," kata Amin.
Baca Juga:
Draft kontrak restrukturisasi PAM Jaya dan kedua mitranya itu beredar sejak pekan lalu. Dalam pasal 2 draft itu, Palyja dan Aetra akan mengembalikan proses manajemen air baku dan air curah serta proses pelayanan pelanggan kepada PAM Jaya.
Dengan pengembalian tersebut Palyja dan Aetra akan melakukan perawatan dan pengoperasian Instalasi Pengelolaan Air (IPA) Pejompongan 1, IPA Pejompongan 2, IPA Cilandak, dan IPA Taman Kota serta distribusi sampai dengan sebelum meter pelanggan, sampai dengan 25 tahun dari tanggal berlakunya perjanjian itu.
Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie mempermasalahkan pasal tersebut. Menurut Nila, poin itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
Beleid ini mengatur, swasta hanya dapat investasi dalam pengembangan, pengelolaan, dan produksi. "Pengelolaan diserahkan ke BUMN dan BUMD yang mengelola air, dalam hal ini PAM Jaya," ujar Nila kepada Tempo, Jumat, 13 April 2018.
Dengan demikian, kata Nila, distribusi tidak termasuk dalam kerja sama dengan swasta yang diperbolehkan PP. Selain itu, lama 25 tahun perjanjian bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan permohonan kasasi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta pada April tahun lalu. Dalam putusan itu MA memberi waktu hingga 2022 kepada pemerintah DKI untuk mengambil alih pengelolaan air bersih dari pihak swasta.
Amin melanjutkan, pemerintah DKI tak hanya akan mengacu pada putusan MA, tapi juga peraturan lainnya ihwal pengelolaan air, termasuk PP 122 ini. "Kami ikuti yang dari pemerintah-lah, regulasinya seperti apa," kata Amin.
Meski begitu, Amin enggan merinci apakah poin ruang lingkup perjanjian itu yang menjadi sorotan untuk direvisi. "Saya tidak bicara poin per poin. Kalau ada yang tidak pas pasti akan disesuaikan dengan keputusan MA."
Secara garis besar, Amin menambahkan. ada tiga target pekerjaan TGUPP ihwal pengelolaan air bersih dan air minum di DKI. Selain melaksanakan putusan MA, TGUPP juga bertugas merumuskan upaya peningkatan coverage penyediaan air bersih dari 60 persen menjadi 85 persen pada 2022, serta menambah produksi air baku di ibu kota.