TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 tak terlupakan bagi Ebi. Kini, setelah 20 Tahun Reformasi, wartawan media internasional itu mengenang mencekamnya suasana Jakarta di tengah krisis.
Insiden bermula ketika mahasiswa Universitas Trisakti mengadakan demonstrasi di kampus mereka, Jalan Kyai Tapa Nomor 1, Grogol, Jakarta Barat, tepatnya Selasa, 12 Mei 1998.
Terjadi penembakan pada malam hari yang mengakibatkan empat mahasiswa tewas, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Baca: Pengamat Kritik Anies-Sandi Ubah Nama Halte Bus 12 Mei Reformasi
Sehari berikutnya, para mahasiswa yang gugur dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ebi dan beberapa rekan wartawan lain hadir untuk meliput pemakaman.
"Kami serombongan pakai taksi," katanya kepada Tempo pada Selasa, 1 Mei 2018.
Belum sampai ke lokasi pemakaman, para wartawan mendengar informasi terjadi kerusuhan di Jelambar, Jakarta Barat, yang tak jauh dari Trisakti. Tak pikir panjang, taksi diarahkan balik arah menuju Jelambar.
Peristiwa tak terduga dialami Ebi begitu sampai di lokasi. "Aku pribadi belum pernah lihat itu, bagaimana orang-orang secara sistematis membakar ruko-ruko di Jelambar."
Tak hanya itu, dia menyaksikan seseorang ditarik keluar dari dalam mobil secara paksa. Saat itulah, fotografer yang menemani Ebi mengajaknya bersembunyi.
Fotografer itu ketakutan karena pernah mengalami kerusuhan Los Angeles, Amerika Serikat, pada 1992 yang dikenal dengan LA Riots. Sama saja, yakni berujung penjarahan, pembakaran, dan kekacauan sipil.
Akhirnya, Ebi dan rekannya tadi menginap di rumah warga. Mereka baru beranjak pulang ke daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada keesokan harinya, Kamis, 14 Mei 1998.
Ebi beruntung karena ada tukang ojek yang bersedia mengantar. "Karena saat itu sepi, jalanan pun sepi, nggak ada yang mau keluar.”
Nasib mirip dialami Solikin, petugas keamanan di Kampus Fakultas Kedokteran Trisakti. Dia kerepotan pulang dari tempatnya biasa menunggu bus di Rumah Sakit Sumber Waras, tak jauh dari Kampus Trisakti.
Solikin bekerja di Trisakti sejak 1995. Pada saat kejadian penembakan 12 Mei 1998, dia sedang libur kerja. Namun, Solikin terkena dampak dari kekacauan di Jakarta. Salah satunya adalah susahnya mencari bus umum menuju dan dari Trisakti.
Saat itu, dia masih kos di daerah Kalideres, Jakarta Barat. Sehari-hari, Solikin menumpang bus umum untuk menjangkau tempat kerjanya. Tapi beberapa hari setelah kejadian, bus umum seperti hilang.
"Ada satu-dua (bus) tapi jarak berangkatnya lama banget," kata dia.
Pernah satu kali dia ingin berangkat kerja naik ojek. Si tukang ojek tiba-tiba meminta ongkos Rp 20 ribu begitu sampai di lokasi. Padahal, perjanjian awalnya Rp 10 ribu. "Karena nggak mau ribut, saya kasih aja."
Solikin menuturkan, kondisi saat itu memang kacau balau. Karena berat di ongkos, dia meminta izin libur selama empat hari. Bahkan, para dosen Trisakti juga banyak yang libur.
"Terutama dosen yang keturunan Cina banyak yang khawatir,” tutur Solikin, mengenang pengalamannya setelah 20 Tahun Reformasi, yakni ketika Tragedi Trisaksi pada 1998.