TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menyatakan turut berduka cita terhadap anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror yang meninggal dan terluka dalam kerusuhan yang dilakukan para tahanan terorisme di Rumah Tahanan Markas Brigade Mobile (Mako Brimob) pada Selasa malam, 8 Mei 2018.
Koordinator Kontras Yati Andriyani sangat menyanyangkan peristiwa bisa terjadi dan memakan korban. “Peristiwa ini sudah seharusnya menjadi pembelajaran penting, untuk itu harus dipastikan adanya langkah-langkah untuk mencegah keberulangan peristiwa serupa terulang kembali,” kata Yati kepada Tempo, Jumat, 11 Mei 2018.
Menurut Yati, peristiwa ini masih menyisakan pertanyaan besar karena mengingat Rutan Mako Brimob sebagai simbol keamanan dan pengamanan dari penegakan hukum. Rutan Mako Brimob dijaga oleh petugas terlatih dan memiliki penjagaan yang ketat, tetapi dengan mudah dibobol, dirampas senjata, dan menjadi target kekerasan.
“Oleh karenanya, pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh secara transparan atas peristiwa tersebut,” kata Yati. Dalam peristiwa ini, Yati menambahkan, penting untuk melihat penyebab peristiwa secara menyeluruh, termasuk factor-faktor yang memberi peluang peristiwa tersebut bisa terjadi.
“Memastikan ada tidaknya unsur-unsur kelalaian, standar prosedur yang diabaikan, sumber daya manusia yang tidak mencukupi, infrastruktur yang tidak memadai, dan tindakan-tindakan lain yang berelasi dan dapat memicu terjadi peristiwa yang tidak diinginkan,” ucap Yati.
Kerusuhan narapidana kasus terorisme yang menewaskan lima anggota Densus 88 itu terjadi pada Selasa, 8 Mei 2018. Seorang anggota Densus 88 sempat disandera, dam satu orang narapidana terorisme tewas.
Kontras meminta kepada Kepolisian RI, Kemenkumham RI, BNPT, Komnas HAM, Ombudsman RI, Kompolnas, BNPT, untuk bekerjasama melakukan evaluasi menyeluruh sesegera mungkin terhadap persoalan itu.
“Kami mengingatkan bahwa Pemerintah sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (UNCAT) melalui UU nomor 5 Tahun 1998, maka seharusnya semua tempat penahanan bisa diawasi, untuk itu penting dilakukan evaluasi pengelolaan tempat-tempat penahanan” ujar Yati.
Menurut Yati, kontrol dan akses lembaga independen terhadap tata kelola rutan untuk mencegah terjadinya risiko penyalahgunaan, risiko penyiksaan dan lain lain. Juga penting untuk memberi penguatan dan dukungan dalam pengelolaan tempat tempat penahanan.
“Dalam hal ini masalah besar tempat penahanan yang telah melampaui kapasitas seperti di Mako Brimob masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah, dan metode atau pendekatan penempatan tahanan masih belum berjalan maksimal,” kata Yati.