TEMPO.CO, Jakarta - Dian masih mengingat peristiwa kelam setelah 20 Tahun Refomasi, ketika adiknya terjebak di dalam Kampus Universitas Trisakti pada saat kericuhan 12 Mei 1998.
Tempo menemui Dian, 45 tahun, di Terminal Grogol, Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat. Di sana, dia mengelola warung makan yang berdiri sejak 1990-an milik keluarganya.
Huru-hara Mei 1998 adalah satu dari rentetan kisruh menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Selasa, 12 Mei 1998, mahasiswa Trisaksi melakukan demonstrasi di kampus mereka. Saat itulah, terjadi aksi penembakan oleh aparat.
Baca: Ahok: Kerusuhan Mei 1998 Coreng Wajah Indonesia
Empat mahasiswa tewas, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Dian menuntaskan cuci piring di dapur warungnya sebelum berbincang dengan Tempo. Dalam ingatannya, kala penembakan terjadi, dia baru saja selesai menanak nasi untuk dihidangkan di warung.
Di luar suasana terminal cukup ramai karena demonstrasi mahasiswa tengah berlangsung. "Ramai banget," kata dia kepada Tempo pada Selasa, 1 Mei 2018. Ada mahasiswa dan polisi makan di warungnya.
Kerusuhan dan penjarahan toko di kawasan Matraman, Jakarta, 14 Mei 1998. TEMPO/Rully Kesuma
Sekitar pukul 15.00 WIB, bunyi tembakan mulai terdengar dari arah jalan layang di Jalan Letjen S. Parman, di depan kampus. Situasi yang semula biasa saja mendadak kacau.
Beberapa mahasiswa berlarian ke dalam kampus untuk menyelamatkan diri. Dian langsung menutup warung nasi itu karena takut celaka.
Setelah kondisi mulai tenang, adiknya menelepon. Adiknya, ternyata ikut bersembunyi di dalam Kampus Trisakti dan sedang didera lapar. Sang adik minta diantar nasi sebab dia tak bisa keluar dari kampus.
Terpaksa Dian ke Trisakti untuk mengantar nasi. Celaka, Dian dicegat polisi. "Nggak boleh keluar (dari terminal) sama polisi.”
Melihat Dian kecewa, beberapa mahasiswa yang masih berada di sekitar terminal menawarkan bantuan mengawal Dian masuk ke kampus. Setelah diizinkan oleh polisi, berjalanlah mereka masuk ke kampus. Bungkusan nasi pun diterima adik Dian.
Beberapa hari berikutnya, kondisi di Jakarta semakin tidak kondusif. Terjadi pembakaran dan penjarahan toko di mana-mana.
Dian dan keluarganya tetap menanak nasi dan memasak lauk. Warung masih tetap melayani pembeli meski disiasati dengan menutup pintu rapat-rapat. "Ya kalau ada pembeli yang ngetok pintu dan tanya, tetap disuruh masuk, namanya cari makan," ucapnya lalu tertawa kecil.
Hingga hari ini warung Dian masih melayani pembeli. Berbagai lauk dijual di dalamnya, seperti ikan gulai hingga ayam goreng. Posisinya yang strategis, tepat di tengah Terminal, membuat warungnya menjadi pilihan para pembeli. Mulai dari warga sekitar hingga supir mikrolet di sana.
Setelah 20 Tahun Reformasi, Dian tak melupakan masa-masa kisruh di Jakarta, terutama di seputar Tragedi Trisakti 1998.