TEMPO.CO, Jakarta - Maria Katarina Sumarsih bercerita tentang 20 tahun reformasi. Setiap hari libur, bersama suaminya, Arief Priyadi, Sumarsih selalu ke Tempat Pemakaman Umum Joglo, Jakarta Barat. Mereka berdoa dan membersihkan makam puteranya, Bernadinus Realino Norma Irawan atau yang biasa disapa Wawan, yang tewas dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998.
Hampir 20 tahun berlalu, pasangan suami istri itu tidak mengetahui siapa yang menembak anaknya yang ada di dalam kampus Universitas Atmajaya, di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Selama itu pula Sumarsih dan aktivis hak asasi manusia tanpa lelah, terus berjuang mengungkap kasus itu. Namun upaya mereka sampai saat ini belum berhasil.
Baca: Tragedi Trisakti dan Cerita Diktat Bernoda Darah Hafidhin Royan
Tempo menemui Sumarsih di kediamannya, Meruya, Jakarta Barat pada 27 April 2018. Perempuan yang rambutnya dipenuhi uban ini menceritakan perjalanan hidup Wawan sejak sekolah di SMA Pangudi Luhur di daerah Muntilan, Jawa Tengah hingga meninggal karena tembakan senjata api.
Pada saat itu, Sumarsih dan suami bekerja di Jakarta, sementara Wawan, anak pertama, sekolah di Muntilan. “Setiap bulan, kalau Wawan lagi enggak bisa pulang saya pasti kesana (Muntilan), menginap di sana,” kata perempuan kelahiran Semarang, 5 Mei 1952.
Lulus SMA, Wawan ingin melanjutkan kuliahnya di Universitas Atma Jaya di Yogyakarta. Sumarsih menyarankan agar Wawan melanjutkan kuliahnya di Universitas Atma Jaya di Jakarta. “Wan ibu kan sudah terlalu lama jauh dari kamu, kamu kuliah disini aja, kan di Jakarta juga ada Atma Jaya,” pesannya kepada Wawan. Puteranya itu akhirnya menuruti nasehat ibunya dan menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Jakarta.
Baca: 20 Tahun Reformasi, UI dan Trisakti Gelar Aksi dan Malam Gelora
Wawan termasuk mahasiswa yang aktif. Banyak organisasi kampus di Universitas Atmajaya Jakarta, diikutinya. Termasuk menjadi anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) tragedi Mei 1998 yang dipimpin Sandyawan Sumardi. Dia mendampingi korban kekerasan dan kejahatan aparat pemerintah di daerah Ciledug, Tangerang.
Ternyata TRK memiliki banyak data para korban, yang tidak dimiliki aparat. “TRK menjadi salah satu incaran pemerintahan Orde Baru,” kata Sumarsih. Karena aktivitasnya itu, Wawan pernah bercerita kalau dirinya menjadi salah satu dari lima pegiat TRK yang akan dihabisi. “Wawan dapat cerita dari temannya yang intel bahwa nama dia ada di dalam daftar, nomor satu bahkan,” ucapnya. Daftar tersebut dibuat oleh salah satu badan intelejen.
Mendengar cerita Wawan, Sumarsih khawatir akan keselamatan anaknya. Ia meminta agar Wawan segera mempercepat kuliah, menghentikan semua organisasi yang diikutinya dan tidak ikut berdemo. Tidak berapa lama, Wawan kembali bercerita kepada ibunya, bahwa namanya telah hilang dari daftar buruan intelijen tersebut.
Simak: 20 Tahun Reformasi: Halte 12 Mei Pengingat Tragedi Trisakti
Setelah kejadian kerusuhan Mei 1998, Wawan meminta untuk berhenti kuliah dan ingin kuliah ke luar negeri. “Saya bilang ke Wawan duitnya dari mana, saya enggak punya uang. Wawan juga minta dibelikan handphone tapi saya enggak kasih. Itu sampai sekarang saya suka sedih,” ucap Sumarsih. Pada 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya turun dari jabatan presiden dan digantikan oleh BJ Habibie.
Pada 6 November 1998, Wawan melakukan operasi Sinusitis dan menginap semalam di rumah sakit. Keesokan harinya, Wawan minta diantar ke kampus karena mau menyerahkan paper seminar ke temannya.
MPR menggelar Sidang Istimewa pada 10-13 November 1998. Ratusan aparat bersenjata laras panjang berjaga-jaga di sekitar gedung DPR/MPR, termasuk di dekat kampus Universitas Atma Jaya. Selain itu ada juga Pam Swakarsa, masyarakat sipil yang dipersenjatai bambu runcing.
Pada Selasa, 10 November 1998, saat hari pertama Sidang Istimewa MPR, Wawan tidak datang ke kampus. Keesokan harinya, Wawan menginap di kampus bersama temannya. Pada Kamis pagi, Wawan telepon ke Sumarsih.
“Ibu, kok Wawan enggak dimasakin?” Sumarsih menjawab karena Wawan tidak pulang malamnya. “Terus dia cerita udah makan bubur dua porsi ditraktir dosennya,” kata dia. Dosen tersebut ialah Hinca Panjaitan yang saat ini menjadi Sekertaris Jenderal Partai Demokrat.
Simak: 20 Tahun Reformasi, Amien Rais: 4 Cita-cita Ini Berhasil Terwujud
Pada Jumat, 13 November, Sumarsih membuatkan masakan kesukaan Wawan yaitu empal dan sayur asam. Makanan itu tidak sempat dimakan, karena Wawan ditembak mati oleh aparat. Sumarsih mendengar dari sejumlah sumber bahwa anaknya itu tewas ketika hendak menolong korban penembakan.
Pada pukul 16.30 WIB, kampus Universitas Atma Jaya dikepung aparat keamanan. Waktu itu ada aparat masuk ke dalam kampus dan Wawan bertanya apa boleh menolong korban penembakan.
Salah seorang petugas mengizinkan. Akhirnya Wawan menolong korban itu dengan mengeluarkan selembar kain putih dari dalam tasnya yang berisi obat-obatan.
“Saat menolong, eh Wawan malah ditembak,” kata Sumarsih, lulusan SMEA yang pernah menjadi guru di SMP Budi Murni Jakarta Barat dan pegawai Sekretariat Jendral DPR RI.
Sumarsih mendapat kabar dari Sandyawan Sumardi bahwa Wawan tertembak dan dibawa ke Rumah Sakit Jakarta.
Setibanya di sana, ia melihat anaknya sudah tak bernyawa. Saat ia membuka baju putih anaknya, pada bagian dada terdapat lubang sebesar rokok dan di sekeliling lubang tersebut terdapat luka bakar.
Sumarsih keluar untuk menyelesaikan administrasi. Saat kembali ke kamar jenazah, ada seseorang yang menghampirinya. “Orang itu bilang untuk dilakukan otopsi. Saya nolak, tapi dia maksa. Dia bilang otopsi itu seperti operasi kecil,”katanya.
Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya Sumarsih menyetujui hal tersebut. Jenazah Wawan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi. Selama perjalanan itu, mobil ambulans yang dinaikinya ditembaki oleh aparat.
“Supir ambulans teriak-teriak ‘tundukkan kepala kita ditembaki, tundukkan kepala kita ditembaki’, bayangkan mobil ambulans saja ditembaki,” kata dia.
Peristiwa itu terus membekas pada diri Sumarsih. Bersama orang tua lainnya yang anaknya tewas dalam kasus Semanggi I dan II, serta kasus Trisakti, mereka menuntut keadilan atas kematian putranya. Setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB, mereka berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan, Jakarta.
Sampai saat ini, Aksi Kamisan itu terus berlangsung, sekalipun hujan. “Dalam Kamisan, ada kesetiaan dan ketekunan. Tujuan Kamisan itu membongkar fakta kebenaran, mencari keadilan, melawan lupa dan impunitas.”
Simak: 20 Tahun Reformasi, Amien Rais: Etika Pergaulan Semakin Nista
Sumarsih juga mendatangi Presiden, DPR, Komnas HAM, Puspom TNI dan institusi lainnya. Dia juga turun ke jalan. Sumarsih akhirnya menjadi aktivis yang menyuarakan tegaknya hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air. Bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Sumarsih mendata kondisi korban-korban pelanggaran HAM di Jakarta.
Dia mendampingi para keluarga korban yang lain, agar mereka lebih kuat dan tetap mau memperjuangkan keadilan yang menjadi hak mereka. Perjuangan Sumarsih ternyata mendapat dukungan dari banyak pihak.
Pada 10 Desember 2004, Sumarsih mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award. Penghargaan ini makin menguatkan dirinya untuk terus melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Kepresidenan.
“Kalau kasus-kasus pelanggaran HAM itu diselesaikan dengan undang-undang yang berlaku, dengan jujur, terbuka, transparan, Kamisan selesai,” ujar ibu Bernadinus Realino Norma Irawan atau Wawan, berkisah tentang 20 tahun reformasi.