TEMPO.CO, Jakarta - Sejarah Kerusuhan Mei 1998 adalah bagian dari pekatnya hitam sejarah Indonesia dalam peringatan 20 tahun reformasi. Tak hanya kerugian materil, psikologis masyarakat menjadi terguncang. Dan trauma pada manusia-manusia Jakarta, termasuk warga keturunan Tionghoa, adalah satu cerita dari rangkaian panjang kisah pilu minoritas Indonesia.
Tak hanya Christianto Wibisono dan Rani Pramesti yang pergi mencari kehidupan yang lebih aman di luar negeri. Ribuan warga Tionghoa lain juga memilih eksodus dari Jakarta dan kota lain di Indonesia.
Kisah-kisah warga Tionghoa yang pergi meninggalkan Indonesia atau mengungsi sementara dibenarkan oleh Sandyawan Sumardi. Romo Sandyawan, begitu dulu ia sering disapa, adalah anggota dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk guna mencari tahu latar belakang terjadinya Kerusuhan Mei 1998.
Menurut Sandyawan, saat itu dirinya sempat dimintai rekomendasi oleh beberapa korban Kerusuhan Mei 1998 untuk bisa mendapatkan suaka dan menjadi pengungsi di negeri lain. Sandyawan bercerita beberapa korban memilih negara seperti Australia dan juga beberapa Eropa seperti Belanda.
"Tapi paling banyak memilih ingin tinggal di Amerika," kata Sandyawan kepada Tempo, Sabtu, 28 April 2018.
Baca: 20 Tahun Reformasi, Cerita Yogya Plaza dan Korban Kerusuhan Mei
Selain itu, kata Sandyawan, banyak pula warga yang memilih menyingkir dari Jakarta ke wilayah lain di Indonesia yang saat itu dianggap aman. Wilayah tersebut misalnya, adalah Jogja dan juga Bali.
Namun, menurut catatan Sandyawan tak hanya warga Tionghoa saja yang waktu itu yang banyak mengungsi. Tapi banyak pula warga Jakarta lain yang memilih mengungsi saat pecah kerusuhan.
Ruth Indiah Rahayu, tim asistensi TGPF yang dulu bekerja di bawah kepemimpinan Sandyawan, berujar bahwa warga yang menyingkir dari Jakarta terjadi secara bergelombang. Ketika peristiwa kerusuhan meletus, kata Ruth, banyak juga warga yang menungsi ke rumah saudara yang tak jauh dari Jakarta.
“Tapi ada pula orang-orang yang memilih meninggalkan rumahnya dan memilih menungsi ke hotel-hotel di Jakarta,” kata Ruth ketika ditemui di rumahnya di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, Jumat, 27 April 2018.
Menurut dia, hotel dianggap lebih aman dibandingkan rumah tinggal karena pihak hotel memiliki keamanan sendiri. Apalagi, beberapa hotel sejak peristiwa itu meletus menyewa beberapa aparat penegak hukum untuk membantu mengamankan hotel.
Tapi tak sedikit pula warga Jakarta yang memilih meninggalkan Indonesia menuju Singapura, Australia dan bahkan Amerika. Termasuk diantaranya adalah para ekspatriat yang bermukim di Indonesia waktu itu.
Ruth yang juga menjadi anggota pada Tim Relawan untuk Kemanusian (TRuK), menilai banyaknya warga Tionghoa yang menyingkir dari Jakarta saat kerusuhan maupun pasca-kejadian adalah respons yang wajar dan logis. Tugas tim itu salah satunya bekerja melakukan psikososial healing bagi komunitas warga yang trauma akibat terjadinya Kerusuhan Mei 1998.
"Bayangkan saja, rumahnya dihancurin, dibakar bahkan hingga ada yang mengalami kekekeran seksual," kata Ruth yang kini bekerja sebagai peneliti di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena).
Baca: Cerita 20 Tahun Reformasi, Kenangan Penjual Nasi Dicegat Polisi
Cerita banyaknya orang yang pergi menyingkir dari Jakarta saat meletusnya Kerusuhan Mei 1998 juga terekam dari berita media cetak waktu itu. Salah satu media cetak pada Sabtu, 16 Mei 1998 menulis bagaimana 300 orang meninggalkan Jakarta melalui Bandara Halim Perdanakusuma. Terekam pula bahwa kepadatan di Halim bahkan sudah terjadi sejak Jumat, 15 Mei 1998.
Diketahui, beberapa warga yang meninggalkan Jakarta ternyata menggunakan pesawat jet yang disewa dan pesawat jenis Fokker F-23 dan Boeing 737-400. Selain itu, penerbangan komersial yang berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta juga tampak padat sejak Jumat.
Terutama pada jalur penerbangan menuju negara-negara Asia terutama Singapura, Hongkong dan Jepang. Maskapai penyedia tiket penerbangan menuju Jepang dan Hongkong bahkan harus menambah kursi untuk menampung para warga yang ingin segera meninggalkan Jakarta.
Sandyawan menilai, cerita yang membawa banyak duka bagi warga yang menyingkir dari Jakarta adalah satu dari ratusan kelindan persoalan yang menyelimuti Indonesia saat itu. Kerusuhan tersebut, kata Sandyawan adalah sedimentasi dari tiga hal.
Pertama, adalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997-1998. Kedua, dalam kondisi ekonomi yang terguncang, perebutan kekuasaan politik untuk menguasai sumber daya ekonomi menjadi tak terelakan. Ketiga, ada pula potensi konflik etnis yang sudah menggejala sejak awal tahun 1998.
"Hal ini bertumbuk bersamaan dan meledak menjadi Kerusuhan Mei 1998," kata dia.
Sejarah mencatat, usaha-usaha yang dilakukan tim TGPF untuk mengungkap latar belakang terjadinya peristiwa nyatanya gagal. Keberadaan mereka yang hanya bekerja selama tiga bulan tak mampu mengungkap siapa saja aktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa yang menandai 20 tahun reformasi itu.