TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman alias Oman Abdurrahman dengan hukuman mati. Kemampuan Aman Abdurrahman mempengaruhi pengikutnya di Jamaah Ansharut Daulah (JAD) untuk melakukan aksi teror menjadi salah satu pertimbangan utama dari tuntutan jaksa.
"Terdakwa dianggap tokoh penting dan menjadi rujukan bagi kelompoknya," kata Jaksa Anita Dewayani saat membacakan berkas tuntutan di ruang Oemar Seno Adjie, Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 18 Mei 2018.
Dalam tuntutan, jaksa meyebutkan lima aksi teror yang diperintahkan Aman Abdurrahman melalui pengikutnya di JAD sejak Januari hingga Juni 2017. Kelimanya yaitu bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur; dan bom Sarinah, Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat; bom Gereja Samarinda; penyerangan Mapolda Sumatera Utara; dan penyerangan terhadap polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat. "Kami meminta agar majelis hakim menjatuhi pidana dengan pidana mati," kata Anita.
Dalam kenyataannya, Aman memang tidak pernah terlibat langsung dalam kelima aksi teror tersebut. Tapi bagi jaksa, ada dua benang merah yang menjadi fakta kuat. Pertama, buku seri materi tauhid yang ditulis oleh Aman. Kedua, pertemuan-pertemuan Aman dengan pengikutnya di Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan, Jawa Tengah.
Buku materi tauhid adalah kumpulan ceraman Aman yang dicetak dalam beberapa seri. Dalam buku itu, Aman menegaskan bahwa hukum yang layak diperjuangkan hanyalah hukum Allah SWT. Sebaliknya, penerapan hukum yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1946 hingga sistem demokras di Indonesia termasuk tindakan kekufuran.
"Jadi, demokrasi adalah ajaran setan dan pengikutnya adalah penyembah setan," kata Anita membacakan rangkuman dari buku tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, Aman meyakini bahwa masyarakat yang masih menganut sistem tersebut adalah kafir dan harus diperangi.
Pemahaman inilah, kata Anita, yang kemudian ditransfer oleh Aman kepada sejumlah pengikutnya, seperti Abu Musa, Abu Gar, Joko Sugito, dan bererapa yang lain. Pada 2015, beberapa pengikut ini menjenguk Aman yang tengah mendekam di Nusakambangan. Aman ditahan akibat kasus bom Cimanggis dan pelatihan militer di Aceh.
Di sinilah momen pentingnya. Kepada beberapa pengikut, Aman menyampaikan adanya perintah amaliah dari umaro (pemimpin) Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS di Suriah. Salah satu perintah itu juga diterima oleh Ali Sunakim alias Afif, pelaku bom Sarinah Thamrin yang pernah menemui Aman langsung di Nusakambangan.
Maka, mulailah aksi teror dilakukan. Pada Januari 2016 dengan tragedi bom Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat; November 2016 dengan bom gereja Samarinda, Kalimantan Timur; Mei 2017 dengan bom Kampung Melayu, Jakarta Timur; Juni 2017 dengan penyerangan di Markas Polda Sumatera Utara; dan penyerangan terhadap polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat pada September 2017.
Jaksa menuntut Aman Abdurrahman dengan Pasal 14 junco Pasal 6 dan Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Maka dari fakta persidangan, jaksa meyakini Aman Abdurrahman layak dihukum mati. Sebab, seluruh unsur seperti menggerakan orang lain hingga menghilangkan nyawa telah terpenuhi dari perbuatan Aman Abdurrahman.