TEMPO.CO, Jakarta - Komite Bersama 20 Tahun Reformasi yakni Youth Proactive, INFID, Amnesty International Indonesia, GEOTIMES, dan KBRI, menggelar Poetry for Integrity di Kantor YLBHI. Dalam acara tersebut, artis teater Inayah Wahid turut membawakan puisinya berjudul 'Impunitas'.
Sebelum membaca puisi, terlebih dulu Inayah menyapa penonton. Ia sedikit bercanda mengenai kurangnya antusiasme khalayak. "Kalian kayak 20 tahun Reformasi nih, lemes," seloroh Inayah Wahid.
Baca : 20 Tahun Reformasi, Mereka yang Menyingkir dari Jakarta.
Inayah kemudian sedikit menceritakan pengalamannya saat Reformasi 1998 terjadi. Kala itu ia masih duduk di bangku SMA dan diam-diam gemar membaca karya-karya sastra yang dilarang. Saat Mei 1998, putri mantan presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tersebut berujar, rumahnya penuh dengan beberapa tokoh Reformasi serta orang-orang yang mengungsi akibat kerusuhan dan penjarahan di penjuru kota.
"Tidak seperti jalan raya yang saat itu lengang, rumah saya hiruk-pikuk," tutur Inayah, "Ibu saya hiruk-pikuk berusaha lari ke sana ke mari, menemui perempuan-perempuan yang tidak cukup beruntung untuk menjadi pribumi sehingga kemudian seakan-akan bisa diambil haknya begitu saja."
20 tahun berlalu, lanjut Inayah, mulanya ia berpikir kondisi negara akan jauh lebih baik. Nyatanya ancaman dan persekusi kini tidak lagi dilakukan oleh penguasa semata, namun juga dari kalangan masyarakat sendiri.
"Ketika dulu pada saat saya diam-diam membaca karya sastra, yang harus saya takutkan hanya penguasa. Sekarang saya nggak tahu," ujar Inayah di acara 20 Tahun Reformasi. "Yang saya tahu pasti, dalam kondisi seperti ini seni dan sastra semakin dibutuhkan, yang harus jadi garda terdepan."
SALSABILA PUTRI PERTIWI | DA