TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengungkapkan plus-minus jika teroris Aman Abdurrahman dihukum mati atau penjara seumur hidup dalam perkara otak penyerangan teroris di sejumlah wilayah Indonesia.
Tak lama lagi Majeiis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis. Jumat lalu, 18 Mei 2018, Jaksa Penuntut Umum menuntut Aman dengan hukuman mati. Namun, berdasarkan pasal-pasal dakwaan pemimpin organisasi teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) tersebut bisa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
"Akan pengaruh terhadap dinamika ISIS di Indonesia dan terhadap aspek keamanan," kata Harits pada saat dihubungi di Jakarta pada Sabtu, 19 Mei 2018.
Jika Aman dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, menurut dia, konsekuensi terberatnya pada deradikalisasi. Aparat keamanan seperti Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri hingga pegawai lembaga permasyarakatan harus bisa memastikan ajaran terorisme Aman tidak menyebar ke narapidana lainnya.
"Tapi selama ini, walau sudah maximum security, tetap saja (Aman) bisa komunikasi dengan (teroris) yang lainnya."
Aman Abdurrahman telah menyatakan keberatan atas tuntutan hukuman mati yang disampaikan Jaksa. Oleh sebab itu, dalam persidangan pada Jumat, 25 Mei 2018, Aman dan pengacaranya akan menyampaikan pleidoi atau pembelaan masing-masing.
Adapun dengan vonis hukuman mati, Harits memprediksi, dalam jangka pendek bisa muncul reaksi balas dendam dari pendukung Aman. Sedangkan dalam jangka panjang, organisasi JAD atau jaringan ISIS di Indonesia akan melemah jika Aman meninggal.
Harits menggarisbawahi, Aman Abdurrahman adalah episentrum dinamika gerakan ISIS di Indonesia. "Walau akan ada regenerasi, pasti tidak akan sekuat Aman."
Selain pemimpin JAD, Aman Abdurrahman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman juga disebut sebagai pemimpin tertinggi ISIS di Indonesia. Dia terdakwa serangkaian teror mulai dari bom Sarinah hingga bom gereja di Samarinda.