TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI Jakarta Tahun 2017.
Ruang sidang paripurna DPRD DKI mendadak riuh dengan sorak dan tepuk tangan setelah Anggota V BPK, Isma Yatun, mengumumkannya.
"Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan BPK, termasuk implementasi atas rencana aksi yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian atas LKPD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017," kata Isma di ruang sidang paripurna DPRD DKI Jakarta, Senin, 28 Mei 2018.
Para kepala dinas dan anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) bangkit dari tempat duduk mereka sambil bertepuk tangan.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansah bahkan sempat melontarkan celetukan. "Makan-makan nih, dapat WTP," ujarnya. "Mata gue sampai merah gini, begadang ini buat WTP."
Anggota DPRD juga memberikan tepuk tangan atas prestasi yang diraih pemerintah DKI itu. "Ini rasanya betul-betul seperti berkah Ramadan," kata Gubernur Anies Baswedan. "Tiap minggu task force yang dipimpin langsung oleh Pak Wagub, melakukan rapat monitoring atas semua action plan. Pertemuan dengan BPK rutin dan mereka bekerja siang-malam."
Para anggota Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta juga sumringah. Mereka bahkan menyiapkan banner bertuliskan "Selamat atas Pencapaian Opini WTP dari BPK RI".
Spanduk itu pun dibentangkan untuk berfoto dengan Anies Baswedan.
Isma Yatun mengatakan, Pemerintah DKI telah menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan BPK sebelumnya. Beberapa langkah tindak lanjut yang dimaksud adalah pembentukan Badan Pengelolaan Aset Daerah, inventarisasi aset tetap, perbaikan Kartu Inventaris Barang (KIB), penelusuran dan koreksi catatan aset yang belum valid, koreksi nilai aset yang belum wajar, dan penyempurnaan sistem informasi aset tetap.
Kendati begitu, BPK mendapati sejumlah temuan terkait dengan pencatatan dan penagihan kewajiban fasilitas sosial dan fasilitas umum yang belum optimal; penatausahaan belanja dan kas atas dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) belum memadai; serta keterlambatan penyelesaian pembangunan rumah susun, gedung sekolah, rumah sakit, dan puskesmas.