TEMPO.CO, Depok -Ketua Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan bahwa akan meminta bantuan dari Fakuktas Psikologi Universitas Indonesia untuk melakukan pendampingan untuk 13 siswa korban pencabulan di Depok.
KPAI akan memastikan program rehabilitasi para korban maupun ibu korban yang bisa dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Baca : Modus Pencabulan 13 Siswa SD di Depok, Tonton Film Porno
“KPAI akan mendorong pemerintah kota Depok bersinergi dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia untuk membantu rehabilitasi para korban dan ibunya” ujar Susanto di Kantor Polresta Depok Senin 11 Juni 2018.
KPAI mengapresiasi 4 orangtua korban yang berani melaporkan kasus ini. Mereka sudah menyelamatkan banyak anak bangsa dengan melaporkan guru pelaku kekerasan seksual.
Namun, karena masih banyak orangtua korban yang belum melapor, maka KPAI mendorong semua ortu sadar untuk melapor, terutama yang anaknya turut menjadi korban.
“Hal ini juga sebagai langkah agar anak mendapatkan perawatan dan penanganan yang tepat. Saat ini yg melapor hanya 4 orang padahal korban diduga lebih dari 13 anak,” ucap Susanto.
Komisioner bidang Pendidikan Retno Listyarti menyampaikan KPAI juga akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Kota Depok untuk evaluasi sistem perlindungan sekolah terhadap para siswanya selama berada di sekolah. Ini untuk seluruh sekolah di Depok agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Simak juga : Siswa Korban Pencabulan Guru di Depok Bertambah Jadi 13 Anak
“Menurut informasi, Sekolah tempat kejadian sudah menjalankan program Sekolah Ramah Anak (SRA), namun adanya kasus ini bukan berarti SRA tidak ada gunanya karena SRA adalah suatu proses berkesinambungan dan SD ini termasuk yang sedang dalam proses PEMAMPUAN, yaitu proses pemenuhan komponen SRA," kata dia.
Selain ituterkait kasus pencabulan ini Retno meminta masyarakat dan media agar media tidak gagal fokus dari pelaku kekerasan seksual menjadi menghakimi SRA. “Apalagi, mengingat pelaku dulu adalah korban, ini sejatinya justru semakin memperkuat alasan untuk memutus mata rantai kekerasan dan kecanduan pornografi di kalangan peserta didik,” tutur Retno.