TEMPO.CO, Jakarta – Pengacara berharap Aman Abdurrahman yang didakwa mengotaki lima serangan terorisme tak sampai divonis mati. Vonis mati seperti yang dituntut jaksa dianggap tidak tepat karena tak dididukung fakta di persidangan.
“Saksi di persidangan tidak ada yang menyatakan Aman terlibat dalam bom Thamrin dan lainnya,” kata pengacara, Asludin Hatjani, saat dihubungi, Selasa 19 Juni 2018.
Baca Juga:
Baca: Sangkal Soal Teror, Ini Dosa Aman Abdurrahman Versi Pengacara
Menurut Asludin, dakwaan jaksa yang menyebut Aman adalah otak aksi teror pun dinilainya tidak terbukti dalam fakta persidangan. Saksi, kata Asludin, tidak bisa mengungkap bahwa Aman yang memerintah teror yang dituduhkan kepadanya.
Selain Bom Thamrin, Aman juga didakwa berada di balik serangan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur; bom di Gereja di Samarinda, Kalimantan Timur; penyerangan Kantor Polda Sumatera Utara, serta penyerangan terhadap polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat.
"Tapi bukti persidangan tidak ada yang mengarah ke sana (Aman sebagai otak teror bom)," ujar Asludin.
Baca juga: Pesan Aman Abdurrahman Hadapi Sidang Vonis Mati Jumat Pekan Ini
Itu sebabnya Asludin berharap majelis hakim memvonis Aman dengan hukuman yang lebih ringan daripada penjara seumur hidup. Rencananya, sidang pembacaan vonis akan dilakukan pada Jumat 22 Juni 2018.
Sebelumya, jaksa menuntut Aman Abdurrahman dengan pidana mati. Tuntutan mengacu pada dua dakwaan yakni melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 dan Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Jaksa mengatakan bahwa konsep syirik hukum dan ideologi takfiri, pengkafiran sesama muslim, yang dianut Aman telah mendorong pengikutnya untuk berbuat teror. Walhasil, nyawa sejumlah orang melayang sia-sia.
Baca: Aman Abdurrahman Sebut Profesor Rohan Dalam Pleidoi, Siapa Dia?
Dalam Majalah TEMPO, edisi 14-20 Mei 2018, seorang petinggi Detasemen Khusus 88 juga menyebutkan peran sentral Aman dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Indonesia. Kelompok ini berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang terlarang.
Aman Abdurrahman disebutkan sebagai pemimpin besar di mata mantan muridnya, baik yang mendapat pendidikan di luar maupun di dalam penjara. "Kalau Aman bilang tidak suka sama seseorang, ini bisa diartikan anak buahnya sebagai perintah membunuh orang itu," kata petinggi Densus 88 itu.