TEMPO.CO, Jakarta – Menjelang sidang vonis untuk terdakwa Aman Abdurrahman hari ini, Jumat 22 Juni 2018, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kembali mengimbau proses persidangan kasus terorisme tidak disiarkan secara langsung (live). KPI merujuk bukan hanya media lembaga penyiaran konvensional, tapi juga media sosial.
KPI telah menetapkan larangan bagi stasiun televisi dan radio. Lembaga itu berharap ada pembatasan pula bagi akun-akun sosial media seperti Instagram dan Facebook. Tujuannya untuk menghindari potensi penyebaran ideologi terorisme dan penokohan teroris.
Baca:
Dituntut Hukuman Mati, Aman Abdurrahman Menyatakan Akan Lawan
Polisi Cegah Bahan Peledak Menyusup ke Sidang Vonis Aman Abdurrahman
"Kami meminta pengadilan dan kepolisian untuk menertibkan terkait tersebarnya penyiaran pengadilan sidang terorisme melalui sosial media," kata Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano Fenelon Pariela saat dihubungi Tempo, Kamis malam, 21 Juni 2018.
Menurut Hardly, KPI tak berwenang memutuskan pembatasan live lewat sosial media. Sebab, ranah KPI hanya mengurusi lembaga penyiaran seperti televisi dan radio.
Untuk ranahnya itu, KPI telah mengeluarkan surat yang melarang stasiun televisi dan radio menayangkan proses persidangan kasus terorisme secara live. Surat telah dilayangkan kepada seluruh direktur utama lembaga penyiaran pada 8 Juni 2018.
Baca juga:
Hari Pertama PPDB SMA di Banten, Server Langsung Ngadat
Polisi Dalami Dugaan Pengeroyokan oleh Anggota DPR, Herman Hery
Imbauan ini berlaku untuk semua sidang kasus terorisme. Tak terkecuali sidang putusan untuk terdakwa Aman Abdurrahman yang rencananya akan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini, Jumat 22 Juni 2018.
Aman didakwa dalam lima kasus terorisme. Selain serangan Bom Thamrin, Aman juga didakwa berada di balik serangan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur; bom di Gereja di Samarinda, Kalimantan Timur; penyerangan Kantor Polda Sumatera Utara, serta penyerangan terhadap polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Jaksa telah menuntut Aman Abdurrahman dengan pidana mati. Tuntutan mengacu pada dua dakwaan yakni melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 dan Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.