TEMPO.CO, Jakarta - Polisi mengungkap keberhasilan mereka menggulung tujuh orang yang disangka berkomplot dalam kasus begal Staf Ahli Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dua dari tujuh tersangka disebutkan terpaksa ditembak mati karena melawan saat hendak ditangkap.
Baca berita sebelumnya:
Staf Presiden Dipertemukan Tersangka Begal, lalu...
Satu yang ditembak mati itu adalah Ramalia alias Ramli, kapten komplotan. Saat pembegalan pada 8 Juni 2018, Ramli menjadi pelaku pertama yang menipu korban, Armedya Dewangga, tenaga ahli muda di Kantor Staf Presiden pemerintah Presiden Jokowi.
Ramli melakukannya bersama seorang tersangka lain yang masih buron, yakni Buyung. Keduanya memberi tahu Armedya bahwa ban belakang mobil yang sedang dikendarainya kempis.
Baca:
Begini Modus Empat Begal Memperdaya Staf Ahli Jokowi
“Selanjutnya, dua tersangka lain, Toing dan Abdul, melakukan hal yang sama guna meyakinkan korban,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Nico Afinta lewat keterangan tertulis yang diterima Tempo, Minggu, 8 Juli 2018.
Seperti pernah dituturkan Armedya, dia diperdaya oleh empat orang pelaku begal yang mengendarai tiga sepeda motor. Saat itu, dia sedang berkendara sendiri di Jalan Gajah Mada menuju kawasan Kota Tua.
Simak: Komplotan Begal Ditangkap, Laptop Staf Presiden Belum Ditemukan
Ketika dia akhirnya menepi untuk memeriksa kondisi ban yang dimaksud, satu pelaku diduga membuka pintu mobil depan sebelah kiri dan menggondol tas ranselnya. Tersangka yang berperan menggasak tas adalah Ahmad yang kemudian kabur bersama tersangka lain, Dani.
Baca juga:
Asap Kebakaran Kemenhub Mematikan, Korban Disisir dari Setiap Ruangan
Berdasarkan keterangan polisi, Armedya pertama-tama melapor ke Kepolisian Sektor Tamansari. Dia melaporkan kehilangan satu unit MacBook ME294, hard disk Seagate, hard disk Western Digital putih, dan uang tunai Rp 3,3 juta.
Armedya juga sempat menuturkan laptop dan hard disk berisi dokumen negara yang bersifat rahasia. Itu sebabnya ada surat dari Kantor Staf Presiden yang meminta perhatian khusus dari kepolisian setempat.
Belakangan, Kantor Staf Presiden pemerintah Jokowi membantah ada dokumen Negara yang hilang dari pembegalan itu. Armedya juga meralat keterangannya.