TEMPO.CO, Jakarta - Aksi penjambretan dan begal yang belakangan marak di Jakarta meresahkan masyarakat. Sebab, kejahatan jalanan yang memakan korban jiwa itu dilakukan di tengah keramaian dan saat jam sibuk kerja.
Alumnus Psikologi Forensik University of Melbourne, Reza Indragiri Amriel, mengatakan tempat ramai merupakan lokasi yang ideal untuk aksi kejahatan.
"Di tempat ramai justru berlangsung pergeseran rasa tanggung jawab," ujarnya saat dihubungi Tempo, Senin, 9 Juli 2018.
Baca: Alasan Pelaku Penjambretan Maut di Cempaka Putih Menyerahkan Diri
Ia menjelaskan, pergeseran rasa tanggung jawab tersebut ibarat bola yang memantul. Jadi, saat terjadi tindak kejahatan, korban akan terabaikan dan tak ada yang sungguh-sungguh menolongnya.
Hal ini yang membuat banyak masyarakat lebih suka memfoto atau memvideokan lebih dulu suatu insiden. Hal itulah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan tersebut.
Beberapa aksi kejahatan jalanan di Jakarta sejak awal Juli 2018 terjadi di tengah keramaian. Salah satunya penjambretan terhadap Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarief Burhanudin saat bersepeda di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, pada Ahad, 24 Juni 2018, pukul 07.00.
Baca: Pelaku Penjambretan Cempaka Putih Sudah Baca Pergerakan Polisi
Kasus penjambretan penumpang ojek online, Warsilah, di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih juga berlangsung saat lalu lintas ramai pada 1 Juli 2018.
Reza mengatakan kiat menghindari kejahatan jalanan, baik aksi begal maupun penjambretan, adalah dengan tidak berpenampilan mencolok, seperti mengenakan perhiasan atau benda elektronik di tempat ramai dan terbuka. "Selain itu, punya asuransi jiwa juga disarankan sebagai bentuk antisipasi," ujarnya.
Kejahatan jalanan, Reza menambahkan, terjadi karena pelaku ingin mengumpulkan sumber daya untuk melakukan kejahatan selanjutnya. "Hasil penjambretan paling tidak jauh-jauh untuk membeli miras dan narkoba," ucapnya.