TEMPO.CO, Jakarta – Sebanyak 15 orang yang diduga penjahat jalanan ditembak mati dalam tiga pekan Operasi Cipta Kondusif yang digelar Polda Metro Jaya. Pada jasad begal-begal itu terdapat luka tembak yang mirip. "Semua (tembakan) mengenai bagian dada," kata Kepala Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Polri Kramat Jati Komisaris Besar Edi Purnomo, Jumat, 27 Juli 2018.
Edi mencontohkan jasad Franky Simanjuntak, pria yang diduga menjambret telepon selular milik Dirjen Bina Konstruksi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Syarif Burhanudin. Ada lubang di dadanya dan peluru masih bersarang di sana.
Jasad terduga begal yang terakhir dibawa ke RS Polri Kramatjati adalah Hazael Eliza Febrianto. Luka bekas peluru terlihat di dada."Luka tembak di dada kanan dan punggung kanan karena pelurunya tembus," kata Edi.
Kepala Bidang Advokasi Fair Trial Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arief Maulana meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk menghentikan instruksi tembak mati kepada penjahat jalanan yang ditangkap. Sebab instruksi tersebut seperti melegalkan polisi untuk menghabisi nyawa orang-orang yang diduga sebagai penjahat itu.
"Padahal menembak bukan tujuan untuk mematikan, melainkan untuk melumpuhkan," kata Arief. Jika tujuan polisi jutru sebaliknya, kata Arif, itu sudah masuk kategori pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM).
Polisi menggelar operasi untuk memburu penjahatan jalanan menjelang Asian Games 2018. Operasi ini rencananya digelar sebulan mulai 3 Juli lalu. Franky Simanjuntak menjadi penjahat jalanan pertama yang ditembak mati karena melawan saat ditangkap.