TEMPO.CO, Jakarta -Pembangunan proyek infrastruktur yang marak dituding turut menyumbang polusi udara di DKI Jakarta memburuk.
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Agung Pujo Winarko berujar pembangunan infrastruktur menimbulkan debu. Debu itu masuk dalam kategori Particulate Matter (PM), salah satu item mengukur indeks pencemaran udara (polusi udara).
Baca : Cerita Anies Baswedan Soal Masinis Asal Jepang Puji MRT Jakarta
"Misalnya, kita kan lagi bangun MRT, LRT, ruas tol dalam kota. Terus ada juga underpass dan flyover," kata Agung kepada Tempo, Kamis, 23 Agustus 2018.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin menyebut pencemaran udara di Ibu Kota dalam lima tahun terakhir relatif tinggi.
Dihitung dengan parameter dominan PM2.5, PM10 dan SO2. Kesimpulan itu dilihat Ahmad Safrudin dari hasil pantauan kualitas udara oleh Pemprov DKI Jakarta dari 2012-2017 dan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari 2016-2017.
Media asing Al Jazeera juga menerbitkan berita berjudul “Air pollution welcomes athletes in Jakarta for Asian Games“. Berita yang dimuat pada 17 Agustus lalu itu menyatakan tingkat polusi udara di Jakarta meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Berita senada juga pernah dipublikasikan oleh BBC Indonesia.
Menangapi itu, Agung mengaku perlu memeriksa kembali datanya. Namun, jika benar demikian, Agung menilai peningkatan pencemaran udara itu wajar seiring dengan geliat pembangunan infrastruktur dalam lima tahun terakhir.|
Simak : Polusi Udara di Jakarta Disebut Terburuk, Anies: Kenyataannya...
"Relevan kalau jadi tinggi. Pembangunan di Jakarta lagi heboh-hebohnya. Itu berkolerasi terhadap debu yang timbul," kata Agung.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji tidak membantah tingkat pencemaran udara di Ibu Kota tinggi jika dihitung menggunakan parameter PM2.5 atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikrometer. Namun, parameter itu tidak digunakan di Indonesia.
Isnawa menuturkan, DKI Jakarta dan daerah lain di Indonesia masih menggunakan standar yang ada di Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara yakni menggunakan PM10, Partikel yang jauh lebih kecil besar dari PM2.5.
"Kalau PM2.5 itu dipakai ya jeblok Jakarta," kata Iswana kepada Tempo, Kamis, 23 Agustus 2018.
Baca juga : Pengganti Sandiaga, PKS DKI Mendesak Muhammad Taufik Patuhi Pusat
Isnawa menambahkan, selain debu infrastruktur, faktor lain penyebab tingginya pencemaran udara di DKI Jakarta adalah emisi gas buang kendaraan. Masalah utamanya, kata Iswana, mayoritas bahan bakar kendaraan di Indonesia masih menggunakan standar Euro 3. Sementara di negara-negara Eropa sudah menerapkan standar Euro 4 bahkan 5.
Pada standar Euro 4, kandungan Nitrogen oksida (NOx) pada kendaraan berbahan bakar bensin tidak boleh lebih dari 80 mg/km dan untuk mesin diesel tidak boleh lebih 250 mg/km. "Jadi kita masih pakai Euro 3, udah kendaraannya banyak, penggunaan oktannya masih polutif pula," kata Iswana soal polusi udara Jakarta.