TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji menyatakan data tingkat polusi udara Jakarta tinggi tak terbantahkan. Data itu jika mengukurnya menggunakan parameter debu yang berukuran diameter kurang dari 2,5 mikrometer atau PM2,5.
Baca:
Udara Jakarta Buruk Saat Asian Games? Ini Penjelasan BMKG
Greenpeace: Polusi Udara Jakarta Bukan Hanya Saat Asian Games
“Kalau PM2,5 itu yang dipakai ya jeblok Jakarta,” kata Isnawa menuturkan, Kamis 23 Agustus 2018.
Isnawa menjelaskan, pengukuran kualitas atau polusi udara di Jakarta dan kota lainnya di Indonesia masih mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara.
Dalam peraturan itu, polusi udara diukur dengan parameter PM10 atau partikel udara yang berukuran kurang dari 10 mikrometer. PM10 bergabung dengan parameter lainnya yakni CO (Karbon Monoksida), SO2 (Sulfur Dioksida), NO2 (Nitrogen Dioksida) dan O3 (Ozon).
Isnawa berujar, negara lain dan organisasi yang fokus pada isu lingkungan memang telah mengganti parameter PM10 dengan PM2,5. Ini, menurut Isnawa, yang menyebabkan data kualitas udara di Wisma Atlet dan rata-rata kualitas udara di Jakarta berbeda antara Kementerian LHK dan organisasi lingkungan.
“Menurut pantauan Kementerian mamang tergolong baik atau sedang,” kata Iswana.
Menjelang perhelatan Asian Games 2018, beberapa media asing memberitakan perihal polusi udara Jakarta ikut menyambut kedatangan para atlet. Kualitas udara disebutkan memburuk dalam beberapa tahun terakhir..
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati berupaya menangkal isi artikel menggunakan data gas rumah kaca. Namun ini hanya memicu perdebatan tentang perbedaan parameter yang diukur.
Baca juga:
Evaluasi Inasgoc, Harga Tiket Festival Asian Games 2018 Turun Harga
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin menyebut hasil pantauan kualitas udara oleh Pemprov DKI Jakarta dari 2012-2017 dan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari 2016-2017 memang menunjukkan pencemaran relatif tinggi. Hasil pengukuran baik berdasarkan pengukuran parameter PM2.5, PM10 maupun SO2.
Belakangan Greenpeace Indonesia menguatkannya dengan menyatakan Jakarta menduduki nomor satu predikat kualitas udara buruk di antara kota-kota besar di dunia pada 11 Agustus 2018. Pengukuran polusi udara menggunakan aplikasi pemantauan AirVisual.