TEMPO.CO, Jakarta - Aset Dinas Kehutanan DKI Jakarta berupa lahan seluas 7,4 hektare atau 74 ribu meter persegi terancam lepas yang diduga dilakukan oleh mafia tanah. Musababnya, pemerintah DKI telat mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengabulkan gugatan dari Ali Effendy dan kawan-kawan.
Kepala Bagian Bantuan Hukum Biro Hukum DKI Jakarta, Nur Fadjar, menuturkan pengajuan banding perkara tersebut telat lantaran pengadilan mengirimkan isi putusan pada Dinas Kehutanan.
Baca juga: Tersangka Mafia Tanah Aset DKI, Uang Rp 340 Miliar di Depan Mata
Padahal, Dinas telah memberikan kuasa pada Biro Hukum untuk menangani sengketa lahan di Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat itu.
“Kenapa Pengadilan mengirimkan relaas-nya ke Dinas Kehutanan, bukan ke kami?” ujar Fadjar seperti ditulis Koran Tempo, Jumat 7 September 2018.
Pada Maret 2017, Ali Effendy dan kawan-kawan menggugat Dinas Kehutanan. Mereka mengklaim sebagai pemilik lahan yang kini menjadi kebun bibit Dinas Kehutanan. Pengadilan kemudian memutus perkara itu pada 13 Desember 2017. Salinan putusannya baru sampai ke kantor Dinas pada 30 Januari 2017.
Baca juga: Kata Ahok, DKI Kalah di Pengadilan karena Mafia Tanah
Fadjar menjelaskan Biro Hukum baru mengajukan banding atas putusan itu pada 15 Februari lalu. Padahal, masa pengajuan banding hanya 14 hari kerja setelah para pihak yang bersengketa menerima salinan putusan. “Kami telat sehari ajukan banding,” ujar dia.
Sekretaris Dinas Kehutanan Uus Uswanto tidak tahu alasan pengadilan mengirimkan salinan putusan ke kantornya. Berkas itu sempat melalui beberapa meja sebelum sampai ke tangan Uus. “Saya juga kaget ternyata ini putusan pengadilan,” ujar dia.
Fadjar khawatir keterlambatan pengajuan berkas banding berpotensi membuat Pengadilan Tinggi Jakarta menolak permohonan pemerintah DKI. “Takutnya dianggap in kracht di pengadilan pertama,” kata dia.
Baca juga: Kasus Mafia Tanah Aset DKI Jakarta, Begini Pengakuan Tersangka
Menurut Fadjar, hakim Pengadilan mengabaikan bukti-bukti kepemilikan lahan yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan. Padahal, dalam persidangan, Dinas menunjukkan pelbagai bukti seperti surat pelepasan hak tanah, iuran pembangunan daerah (Ipeda), hingga girik.
Adapun Ali, menurut Fadjar, hanya membawa bukti berupa kuitansi pelunasan pembayaran lahan dan girik. Girik yang dimiliki oleh Ali pun ditengarai palsu. Karena itu, Biro Hukum melaporkan Ali ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 3 Juli lalu dengan tuduhan pemalsuan akta autentik.
Fadjar menjelaskan, indikasi pemalsuan dokumen oleh Ali dan kawan-kawan adalah keterangan dalam girik bahwa lahan berlokasi di Kecamatan Kembangan. Padahal, Kembangan baru menjadi kecamatan pada 1990. “Girik itu bukti kepemilikan tahun 1960-an,” tutur dia.
Kuasa hukum Ali Effendy, Fredi K. Simanungkalit, enggan berkomentar mengenai pelaporan Biro Hukum. “Langsung tanya ke Pak Ali saja,” tutur dia. Adapun Pengadilan Negeri Jakarta Barat belum memberikan pernyataan atas keganjilan yang diungkapkan oleh Biro Hukum.
Rabu lalu, Polda Metro Jaya juga mengungkap pemalsuan sertifikat hak milik yang diduga dilakukan oleh Sudarto dan kawan-kawan. Selaku kuasa hukum ahli waris Ukar bin Kardi, Sudarto menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Mereka mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 2,9 hektare yang kini menjadi kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Jakarta Timur.
Simak juga: Tersangka Mafia Tanah Aset DKI, Majelis Hakim Bakal Terseret?
Sudarto dkk menggugat pemerintah DKI membayar ganti rugi sebesar Rp 340 miliar pada 2014. Sudarto menjanjikan bagian 25 persen dari nilai gugatan tersebut kepada tujuh orang lainnya.
Pengadilan Jakarta Timur mengabulkan gugatan Sudarto dan kawan-kawan. Kasus yang diduga dilakukan mafia tanah ini masih dalam proses banding.