TEMPO.CO, Jakarta - Sulaiman, nelayan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, akan melaporkan polisi dan jaksa karena menghilangkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi meringankan kasusnya. Sulaiman diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa kasus penyerobotan lahan di Pulau Pari, namun majelis hakim memutusnya tidak bersalah.
Baca: Ini 4 Pertimbangan Hakim PT Bebaskan Nelayan Pulau Pari
"Kami akan laporkan polisi, jaksa, yang melakukan proses hukum terhadap Sulaiman. Untuk waktu pelaporannya nanti akan kami umumkan," ujar kuasa hukum Sulaiman, Nelson Nikodemus Simamora, di kantor LBH, Jakarta Pusat, Ahad, 18 November 2018.
Nelson mengungkapkan, mereka meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian memeriksa bawahannya, karena diduga melakukan kriminalisasi terhadap aktor vokal yang menentang perampasan tanah warga Pulau Pari.
Sebelumnya, Sulaiman dilaporkan ke polisi oleh Pintarso Adijanto, presdir PT. Bumi Raya Utama, induk usaha PT Bumi Pari Asri pada 2017 karena dituduh menyerobot lahan miliknya. Pintarso mengaku telah membeli lahan di Pulau Pari seluas 4.999 meter persegi dan telah dibalik nama atas nama keluarganya pada tahun 1991.
Puluhan warga Pulau Pari Kepulauan Seribu berunjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 13 November 2018. Tempo/Imam Hamdi
Di tanah yang diklaim Pintarso sebagai miliknya itu, berdiri tujuh homestay yang dikelola oleh Sulaiman sejak 2013. Homestay itu merupakan milik seorang bernama Surdin, yang telah ia beli pada 2012 dari seseorang bernama Tarsim.
Dari penjualan itu, Surdin memiliki surat jual beli tanah tersebut. Namun pada 2015 akhir, perusahaan bernama PT Bumi Pari Asri, tempat Pintarso bekerja, datang ke Pulau Pari dengan membawa 62 sertifikat, yang mengklaim 90 persen tanah di pulau itu adalah milik perusahaan.
Penolakan klaim lalu datang dari warga, salah seorang yang vokal melakukan penolakan adalah Sulaiman. Masyarakat menolak karena merasa telah tinggal di Pulau Pari sejak lima generasi.
Selain itu, warga menduga penerbitan 76 sertifikat yang perusahaan miliki melanggar administrasi. Dugaan masyarakat itu diperkuat oleh Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman RI, yang menyatakan sertifikat tersebut memang maladministrasi.
"Sertifikat dikeluarkan tahun 2015, tanpa pernah ada proses pengukuran tanah seperti yang diwajibkan PP 24 Tahun 1997," ujar Nelson.
Papan pengumuman dari Polres Kepulauan Seribu terpancang di lahan sengketa antara PT Bumi Pari Asri dan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018. Tempo/Fajar Pebrianto
Kendati Ombudsman telah mengeluarkan LAHP soal cacat administrasi terhadap 76 sertifikat itu, polisi ngotot menetapkan Sulaiman sebagai tersangka. Sulaiman menjalani persidangan sejak awal 2018 di Pengadilan Jakarta Utara.
Saat proses persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak menghadirkan BAP yang meringankan pihak Sulaiman. Alasannya, JPU kehilangan berkas tersebut.
Pada 13 November 2018, Ketua Majelis Hakim Ramses Pasaribu yang menyidangkan kasus itu, menetapkan Sulaiman tak bersalah. "Terdakwa tidak terbukti memaksa masuk ke dalam rumah maka unsur selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan,” kata Rames.
Kini, setelah tuduhan terhadapnya tak terbukti, Sulaiman bersama LBH Jakarta akan melaporkan balik polisi dan jaksa ke pimpinan instansi terkait.
Baca: Banding Diterima, Koalisi: Stop Kriminalisasi Nelayan Pulau Pari
Mereka meminta kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mengambil tindakan atas perampasan tanah berkedok kriminalisasi. "Kami juga minta Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk mencabut sertifikat milik perorangan ataupun korporasi di Pulau Pari yang terbit pada 2014-2015," ujar Nelson.