TEMPO.CO, Jakarta - Marzuki, 68 tahun, dan Sumiyati, 61 tahun, tampak malu-malu saat ditanya persiapannya mengikuti nikah massal yang digelar pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Keduanya yang berbusana putih-putih berkali-kali tertawa sambil menutupi mulut dengan telapak tangan.
Simak juga :
Anies Pastikan Nikah Massal Kembali Digelar Malam Tahun Baru 2019
"Aduh, enggak kok, enggak deg-degan," kata Sumiyati di Park and Ride Thamrin, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin petang, 31 Desember 2018. Sumiyati yang telah berdandan ala pengantin menolak untuk diwawancarai.
Dengan senyum simpul, Sumiyati menyilakan suaminya untuk menjelaskan persiapan hingga niat keduanya mengikuti pernikahan massal. Menjawab dengan kalimat terpatah-patah, Marzuki pun mengatakan bahwa keduanya sebetulnya telah menikah.
Marzuki dan Sumiyati mengucap ijab kabul di Cilacap, Jawa Tengah pada 1975. Namun, kala itu, mereka tak memperoleh buku nikah. "Hanya surat keterangan. Itu pun hilang saat banjir," ujarnya.
Suami-istri yang sudah 43 tahun hidup bersama itu pun memperoleh tawaran dari kelurahan tempat mereka tinggal, yakni Galur, Jakarta Pusat, untuk mengesahkan kembali janji nikahnya.
Tanpa basa-basi menolak, keduanya menerima tawaran itu. Lupa kapan tawaran itu datang, Marzuki hanya mengingat prosesnya tak lama. Adapun acara pernikahan massal ini dianggap memudahkan karena keduanya tak punya uang untuk mengurus buku nikah.
"Enggak ada pendapatan. Saya nganggur, ibu cuma buruh pijat," katanya. Dengan mengikuti nikah massal ini, pasangan yang belum dikaruniai anak itu merasa dimudahkan. Sebab, mulai biaya dandan hingga mahar, semua telah ditanggung pemerintah.
Baca : Pendaftar Nikah Massal Saat Malam Tahun Baru Tembus 557 Pasangan
Kepala Biro Pendidikan, Mental, dan Spiritual (Dikmental) DKI Jakarta Hendra Hidayat sebelumnya memaparkan, setiap kelurahan di Ibu Kota menyediakan kuota tiga pasangan untuk ikut program nikah massal ini. Mahar pernikahan itu ialah seperangkat alat salat dan uang Rp 500 ribu.