TEMPO.CO, Jakarta - Tim panel bentukan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tetap akan memproses laporan Rizky Amelia terhadap mantan atasannya di BPJS Ketenagakerjaan, Syafri Adnan Baharuddin atas dugaan kasus pelecehan seksual. Pengusutan terhadap laporan itu tetap berjalan kendati Syafri telah menyatakan mundur dari anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.
"Secara administratif, surat pengunduran diri Syafri belum kami terima," kata Ketua Tim Panel, Subiyanto, saat dihubungi Tempo pada Kamis, 10 Januari 2019.
Baca: DJSN Bentuk Tim Panel untuk Tangani Kasus Rizky Amelia
Subiyanto membenarkan bahwa DJSN telah mengetahui rencana pengunduran diri Syafri. Surat pengunduran diri Syafri itu dibuat pada 30 Desember 2018 dan telah disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Bila secara administrasi surat pengunduran diri ini belum masuk ke DJSN, Subiyanto mengatakan tim panel tetap perlu bekerja. Menurut Subiyanto, tim panel baru akan menghentikan pengusutan bila presiden sudah mengeluarkan surat keputusan atau SK yang merespons pengunduran diri Syafri.
Subiyanto mengatakan bila selama pengusutan Syafri belum sah mundur sebagai anggota Dewas BPJS TK dan ia terbukti bersalah, maka tim panel akan mengeluarkan peringatan tertulis kepada menteri terkait. Sedangkan jika Syafri tidak terbukti bersalah, DJSN akan meminta kementerian yang berkaitan untuk merehabilitasi nama baiknya.
Baca: Sebulan Surat Aduan ke Jokowi, Rizky Amelia: Belum Ada Respons
Tim panel tersbeut dibentuk berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dalam pasal itu disebut, tim panel yang bersifat ad hoc akan memeriksa laporan pelapor.
Menurut Subiyanto, tim panel melibatkan tiga unsur. Unsur pertama berasal dari DJSN, sedangkan dua unsur lain masing-masing dari kementerian terkait dan tokoh ahli.
Untuk menangani kasus Rizky Amelia, tim panel DJSN melibatkan dua orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, seorang ahli hukum bernama Oka Mahendra, dan seorang lain ialah psikolog dari Universitas Indonesia.