TEMPO.CO, Jakarta – Polsi masih mendalami motif penyebaran kabar bohong atau hoaks surat suara tercoblos oleh MIK, 38 tahun. Pria yang berprofesi sebagai guru SMP itu ditangkap polisi atas tuduhan penyebaran hoaks.
“Kami masih lakukan pendalaman lagi saat ini,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Adi Deriyan saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 12 Januari 2019.
Baca: Guru SMP Jadi Tersangka Penyebar Hoaks Surat Suara Tercoblos
MIK membuat cuitan lewat akun Twitter miliknya yang berisi isu adanya 7 kontainer surat suara tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priuk. Isi cuitannya adalah “@dahnilanzar harap ditindaklanjuti, informasi berikut: DI TANJUNG PRIOK ADA 7 KONTAINER BERISI 80JT SURAT SUARA YANG SUDAH DI COBLOS. HAYO PADI MERAPAT PASTI DARI TIONGKOK TUH". Cuitan tersebut disertai rekaman suara dan tangkapan layar.
Dalam pemeriksaan, MIK mengaku mengunggah itu untuk memberi informasi kepada kubu pasangan calon presiden nomor urut 02 ihwal adanya kabar kontainer surat suara tercoblos pada 2 Januari lalu. Alasan itu tercatat dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) pertama yang dihimpun polisi dari keterangan saksi.
Baca: Ini Alasan Guru SMP Unggah Cuitan soal Hoaks Surat Suara
Adi mengatakan ada kemungkinan tersangka terlibat sebagai relawan salah satu paslon. Namun polisi masih menyelidiki sejauh mana keterlibatan MIK dalam upaya pemenangan paslon tersebut.
Polisi, kata Adi, belum memastikan akan memanggil tim salah satu paslon untuk dimintai keterangan. “Kami lihat peristiwa pidana yang terjadi dulu. Kalau ternyata tidak perlu memanggil saksi dari salah satu paslon, ya kami tidak akan panggil,” ujarnya.
MIK ditangkap di Cilegon, Banten pada 6 Januari lalu. Ia dibekuk lantaran telah mengumbar cuitan berisi hoax melalui Twitter dengan akun @chiecilihie80.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan tersangka mengakui perbuatannya menyebarkan hoaks surat suara kepada penyidik. Atas kicauannya yang mengandung hoax itu, ia terancam Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45a Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi elektronik dengan pidana paling lama 6 tahun dan denda Rp 1 miliar. Ia juga terancam Pasal 14 dan 15 UU RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang penyebaran berita bohong dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun.