TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat transportasi Yayat Supriyatna menyayangkan sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tak lagi memprioritaskan proyek electronic road pricing atau ERP. Menurut dia, jalan berbayar itu menjadi muara dan memiliki dampak yang lebih ampuh dibanding aturan 3 in 1 dan ganjil-genap.
Baca: Peserta Lelang Mendadak Mundur, ERP Jakarta Terancam Molor Lagi
"ERP itu push and pull factor orang akhirnya mau pindah ke angkutan massal,” kata Yayat kepada Tempo, Sabtu, 12 Januari 2019. “Kalau enggak dipaksa, kapan masyarakat mau pindah ke transportasi umum?"
Yayat mengatakan, saat ini pemerintah DKI telah siap menerapkan ERP. Sebab, kondisi transportasi massal sudah maju dengan adanya MRT, LRT, dan integrasi bus Transjakarta. Menurut dia, faktor yang membuat sistem jalan berbayar gagal diterapkan pada 2014 karena pada saat itu sistem transportasi tak sebaik sekarang.
Pemerintah berencana menggunakan sistem jalan berbayar untuk membatasi kendaraan di sejumlah jalan utama di ibu kota. Namun penerapan sistem ini sudah terkendala dalam proses lelang pengadaan alat.
Menanggapi kendala itu, Anies menyatakan tak lagi menjadikan ERP sebagai proyek prioritas. Ia lebih mementingkan untuk menambah transportasi umum ketimbang merampungkan proyek jalan berbayar. "Kami lebih penting membuat transportasi umum lebih banyak daripada ERP-nya. Karena di situlah sebenarnya inti dari kebijakan kita," kata Anies.
Yayat berharap Anies lebih terbuka ihwal kendala yang dihadapi terkait proyek jalan berbayar. Sebab ia justru menilai sistem jalan berbayar ini menjadi solusi terbaik untuk mengatasi kemacetan di ibu kota. "Kalau memang enggak layak, jelaskan di mana tidak layaknya," kata dia.
Baca: Penyebab Anies Baswedan Sebut Penerapan ERP Bukan Prioritas
Selain itu, Yayat menyarankan Anies Baswedan segera menyiapkan solusi alternatif menggantikan ERP. Misalnya saja menaikkan tarif parkir. Pertumbuhan kendaraan umum di Jakarta akan sia-sia jika tidak didukung oleh kebijakan pemerintah yang bersifat memaksa masyarakat berpindah ke moda transportasi umum. "Buat jadi Rp 50 ribu per jam. Kalau enggak gitu, keenakan orang kaya yang punya mobil," kata dia.