TEMPO.CO, Jakarta -Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya membantah pembentukan tim gabungan baru pengusut kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan berunsur politik.
“Tidak ada, tidak ada seperti itu. Kamk bekerja secara profesional untuk mengungkap siapa pelakunya,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono di kantornya pada Senin, 14 Januari 2019.
Baca : Soal Tim Gabungan, Polri Tak Tanggapi Keraguan Novel Baswedan
Menurut Argo, polisi memiliki standar operasi tersendiri dalam mengungkap kasus Novel. Ia juga menyebut selama penyelidikan polisi meminta masukan banyak pihak untuk mencari kejelasan siapa pelakunya. “Kami menangani kasus itu secara serius,” tutur Argo.
Pembentukan tim gabungan baru ini tercantum dalam surat tugas yang ditandatangani Tito pada 8 Januari. Dalam lampiran surat itu, nama Tito tertera sebagai penanggung jawab tim.
Ketua timnya adalah Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis dengan 46 personel Polri sebagai anggota tim.
Terpampang spanduk ungkapan kekecewaan KPK kepada Presiden Jokowi terkait 16 bulan kasus penyiraman Novel Baswedan , Jumat 21 Juli 2018 /TEMPO-TAUFIQ SIDDIQ
Dari ahli ada beberapa nama seperti mantan wakil pimpinan KPK dan guru besar pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji; Peneliti LIPI Hermawan Sulistyo; Ketua Ikatan Sarjana Hukum Indonesia, Amzulian Rifai; Ketua Setara Institut Hendardi; Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti; mantan Komioner Komnas HAM, Nur Kholis; dan Ifdhal Kasim. Serta enam nama dari KPK.
Pembentukan tim itu tertuang dalam Surat Tugas Kapolri bernomor Sgas/3/I/HUK.6.6./2019 tertanggal 8 Januari 2019. Surat itu berlaku selama 6 bulan, terhitung 8 Januari-7 Juli 2019.
Senada dengan Argo, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal menuturkan bahwa pembentukan tim gabungan murni sebagai upaya penegakan hukum.
Simak pula :
Kubu Prabowo Bandingkan Kasus Novel Baswedan dengan Terorisme
Pembentukan tim, kata Iqbal, berdasar pada rekomendasi tim pemantau dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang keluar pada 21 Desember 2018 lalu. “Mungkin kebetulan saja dekat dengan pesta demokrasi. Tapi tidak ada kaitannya sama sekali,” kata Iqbal.
Novel Baswedan disitam air keras berjenis asam sulfat atau H2SO4 pada Selasa 11 April 2017. Ia diserang usai menunaikan salat Subuh di masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Hingga kini polisi belum dapat mengungkap siapa penyerang Novel.