TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air terus mendesak Gubernur Anies Baswedan untuk segera memutus kontrak kerja sama air bersih dengan swasta. Atas sejumlah alasan, Anies diminta tak gentar.
Baca berita sebelumnya:
Desakan Stop Swastanisasi Air, Kemauan Anies Dipertanyakan
Pengacara publik Koalisi, Tommy Albert, mengatakan banyak negara juga telah mengambilalilh pengelolaan air dari swasta. Sepanjang 2000-2005 lalu, Albert menyebutkan, ada 235 kasus pengambilalihan pengelolaan air.
"Kasus yang akan terjadi di Jakarta bukan sesuatu yang baru," kata Albert di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Ahad 10 Februari 2019.
Koalisi menghimpun enam alasan berikut ini untuk membantu Anies membuat keputusannya,
1. Tarif murah karena tidak dibebani keuntungan swasta
Albert mengatakan, harga air di DKI dipatok dengan mempertimbangkan keuntungan bagi mitra swasta yang menjadi operator, Palyja dan Aetra. "Setiap air yang dibayar oleh warga, juga ada keuntungan swasta yang kita bayarkan," kata dia.
Pengunjung meminum air saat peresmian fasilitas air siap minum (drinking fountain) oleh PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu, 7 November 2018. TEMPO/Muhammad Hidayat
Karena pertimbangan keuntungan untuk swasta itu, harga air baku di Ibu Kota dianggap menjadi mahal. Dia membandingkan dengan harga air di Surabaya yang dikelola sepenuhnya oleh PAM Surya Sembada.
Baca:
Swastanisasi Air, Anies Didesak Tunjukkan Wibawa dengan Cara ...
PAM Jaya dan operatornya, Palyja dan Aetra mematok air bersih seharga Rp 7.800 per meter kubik. Padahal, mereka membeli air dari PJT II Rp 202 per meter kubik. Sedangkan, Pemerintah Kota Surabaya memasang tarif Rp 2.860 per meter kubik. PAM Surya Sembada mendapatkan air dari PJT I seharga Rp 133 per meter kubik.