TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memastikan pihaknya akan mengambil alih pengelolaan air di Jakarta dari pihak swasta. Pengambilalihan swastanisasi air tersebut, kata dia, akan dilakukan secara perdata yang nilai kerugiannya akan lebih rendah.
"Opsi dari tim adalah pengambilalihan secara perdata. Opsi itu lah yang kami pilih," kata Anies di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin, 11 Februari 2019. Anies pun menegaskan bahwa DKI akan mengambil alih seluruh pengelolaan air Jakarta, mulai dari proses air baku, distribusi, dan pelayanan.
Baca: Stop Swastanisasi Air, Simak Bagaimana Anies Baswedan Terjepit
Adapun yang dimaksud dengan pengambilalihan melalui perdata, anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum Tatak Ujiyati menjelaskan ada tiga alternatif cara. Pertama, pembelian saham 100 persen dengan nominal PT Aetra Air Jakarta sebesar Rp 1,3 triliun dan PT PAM Lyonnaise Jaya sebesar Rp 650 miliar.
Dengan pengambilalihan pembelian saham, kata Tatak, artinya Pemprov DKI Jakarta harus menanggung utang milik Aetra Air Jakarta kepada bank sebesar Rp 2,1 triliun. Sehingga, menurut Tatak, pilihan itu agak sulit terlaksana.
Pilihan kedua dari pengambilalihan secara perdata, yakni dengan penghentian perjanjian kerja sama secara sepihak antara PD PAM Jaya dengan dua perusahaan swasta. Namun pemutusan itu juga memiliki konsekuensi denda sebesar Rp 2 triliun.
Baca: Soal Swastanisasi Air, Anies Diminta Beberkan Hasil Kajian Timnya
Cara pengambilalihan secara perdata terakhir, yakni dengan pengambilalih sebagian Water Treatment Plan (WTP) atau Instalasi Pengelolaan Air (IPA) oleh PD PAM Jaya. Cara ini dinilai Tim Evaluasi yang paling aman tetapi memerlukan negosiasi yang tak mudah dengan Aetra dan Palyja.
Untuk mempercepat proses pengambilalihan fasilitas pengelolaan air itu, Anies telah memerintahkan kepada Direktur Utama PD PAM Jaya Bambang Hernowo untuk membuat head of agreement dengan dua perusahaan swasta itu. Tindakan tersebut, kata Anies, sebagai langkah awal dalam pengambilalihan pengelolaan air secara perdata. "Saya akan meminta Tim Evaluasi untuk mengawal proses pengambil alihan ini," kata dia.
Anies tak menyebut kapan proses itu akan rampung. Namun ia memberikan waktu satu bulan kepada PAM Jaya membuat head of agreement, yang berisi mengenai road map kerja sama Pemprov dengan swasta ke depan.
Baca: Contoh Surabaya, Ini 6 Alasan untuk Anies Tolak Swastanisasi Air
Langkah pengambilalihan ini, kata Anies, amat penting untuk mengoreksi perjanjian yang dibuat pada tahun 1997 lalu. Karena setelah perjanjian kerja sama dengan swasta berjalan selama 20 tahun, pelayanan air bersih tidak berkembang sesuai harapan.
Anies mencontohkan, misalnya cakupan pelayanan yang tidak tercapai dari target 82 persen yang dijanjikan dan tingkat kebocoran air mencapai 44,3 persen. Kondisi itu menjadikan Jakarta salah satu kota dengan kebocoran air tertinggi dari kota-kota metropolitan di dunia. “Sementara pihak swasta diberikan jaminan keuntungan yang akan terus bertambah jumlahnya setiap tahun. Ketidakadilan perjanjian ini merupakan perhatian kami,” ujarnya.
Berdasarkan kajian komprehensif soal swastanisasi air yang meliputi aspek hukum, aspek ekonomi, serta optimalisasi dan keberlanjutan air bersih, Tim Tata Kelola Air menggambarkan tiga pilihan kebijakan dan konsekuensinya, yaitu status quo/membiarkan kontrak selesai sampai dengan waktu berakhirnya, pemutusan kontrak kerjasama saat ini, serta pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata.