TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Badan Pengawas Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) Haryo Tienmar meminta PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) duduk bersama membicarakan langkah pengambilalihan pengelolaan air Jakarta.
Menurut Haryo, dua operator swasta itu harus menyadari bahwa rencana pemerintah DKI untuk mengambil alih pengelolaan air tersebut semata-mata untuk meningkatkan pelayanan air bersih bagi warga Ibu Kota. “Kami harap mitra menyadari hal itu,” ujar Haryo kepada Tempo pada Rabu, 13 Februari 2019.
Baca: Ambil Alih Pengelolaan Air Jakarta, Anies Serahkan Penuh ke Tim
Pemerintah DKI Jakarta memutuskan akan mengambil alih pengelolaan air di Jakarta dari Palyja dan Aetra melalui langkah perdata. Ada tiga opsi dalam mekanisme perdata itu, yakni membeli saham perusahaan swasta, pemutusan kontrak, dan mengambil alih sebagian Water Treatment Plan (WTP) atau Instalasi Pengelolaan Air (IPA). Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum menilai opsi terakhir adalah opsi paling aman untuk dijalankan pemerintah.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menugaskan Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo untuk menyusun head of agreement (HoA) dengan dua operator air swasta itu dalam waktu satu bulan.
Menurut Haryo, dari pelbagai pilihan perdata untuk mengambil alih pengelolaan air bersih, ia mengusulkan agar kontrak kerja sama privatisasi air itu direnegosiasi. Menurut dia, melalui renegosiasi itu, PAM Jaya tidak perlu mengeluarkan biaya. “Kami akan bicarakan dengan mitra,” kata dia.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum DKI Jakarta saat jumpa pers mengenai penghentian swastanisasi air di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin, 11 Februari 2019. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Sementara itu, Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum Tatak Ujiyati menjelaskan semua langkah pengambilalihan air dari Palyja dan Aetra punya kelebihan dan kekurangan. Pelbagai opsi itu pengambilalihan itu juga tetap akan menimbulkan biaya.
Tatak mencontohkan jika pengambilalihan pengelolaan air dilakukan dengan cara pengakhiran kontrak kerja sama, dampak positifnya ialah PAM Jaya bisa segera mengelola air di Ibu Kota. Namun, perusahaan daerah itu harus siap terkena penalti. Dalam perjanjian privatisasi air dengan dua operator air itu diatur cara penghentian kontrak.
Pilihan lainnya, kata Tatak, ialah dengan membeli saham Palyja dan Aetra. Cara ini memiliki keuntungan, yakni seluruh pengelolaan air di Jakarta dari hulu sampai hilir akan berpindah ke PAM Jaya tanpa mengganggu layanan.
Baca: Penyebab Anies Stop Swastanisasi dalam Pengelolaan Air di Jakarta
Selain itu, potensi utang PAM Jaya pada Palyja saat akhir kontrak kerja sama pada 2023 yang nilainya mencapai Rp 6,7 triliun bisa hilang. “Negatifnya ialah harga saham operator air itu bisa sangat mahal,” kata Tatak.
Adapun langkah pengambilalihan sebagian fasilitas pengelolaan air, Tatak mengatakan memiliki dampak positif, yakni biaya yang murah. Pengambilalihan sebagian bisa dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Penyediaan Air Minum. Namun pengambilalihan pengelolaan air sebagian ini memiliki kekurangan, yakni tetap melibatkan swasta dalam pengelolaan air.
Tatak menyerahkan pada PAM Jaya untuk menegosiasikan pelbagai pilihan pengambilalihan pengelolaan air Jakarta itu pada Palyja dan Aetra. “Kami hanya dampingi PAM Jaya untuk mengkaji sejumlah opsi itu,” kata dia.