TEMPO.CO, Jakarta – Kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta telah resmi kosong sejak Sandiaga Uno mundur dari jabatannya mendampingi Anies Baswedan pada Agustus 2018 lalu. Sandiaga melenggang sebagai calon wakil presiden bersanding dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Baca juga: Dua Cawagub DKI Tak Sempurna, Tim Seleksi: Rahasia Parpol
Surat pengumuman pengunduran diri Sandiaga secara resmi ia bacakan pada 27 Agustus 2018 di hadapan seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI.
Setelah kursi Sandiaga lowong, dua partai pengusung Anies dan Sandiaga, yakni Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, memiliki hak mengajukan nama bakal calon wakil gubernur.
Sesuai mekanisme, dua partai ini lantas bertemu untuk membahas pencalonan. Namun, dalam perjalanannya, pencalonan Wagub DKI menuai polemik. Penetapan nama cawagub DKI tak kunjung mencapai kesepakatan lantaran alotnya rembukan jatah kursi antar-dua partai.
Setelah hampir enam bulan, berikut ini lika-liku tarik ulur penetapan Cawagub DKI.
- Gerindra berkukuh ajukan calon
Partai Gerindra berkukuh mengajukan nama calon, yakni kala itu M Taufik. Padahal, sejumlah politikus PKS menilai kursi Wagub DKI mutlak menjadi hak PKS.
Juru bicara DPP PKS Muhammad Khalid, pada Agustus 2018 lalu, menyatakan partainya memiliki kesempatan lebih leluasa untuk mengajukan nama. “Anda bisa terjemahkan sendiri, ketika PKS sudah tidak cawapres, tentunya kesempatan lebih diberikan pada PKS, wagub,” ujarnya.
Untuk menurunkan tensi lantaran perembukan yang tak kunjung kelar, Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Gerindra lantas bersepakat memberikan jatah kursi untuk PKS. Namun, sebulan kemudian, pada September 2018, DPD Partai Gerindra DKI Jakarta resmi mengusulkan ketuanya, yaitu M Taufik, sebagai calon wagub DKI Jakarta. Taufik menyatakan menolak memenuhi kesepakatan yang pernah ditekennya tentang wagub DKI pengganti Sandiaga Uno.