TEMPO.CO, Jakarta - Larangan kampanye di rumah susun mendapat protes dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta yang kembali maju sebagai caleg. Mereka mempertanyakan dasar hukum dari pelarangan itu.
Baca: Bawaslu Minta Spanduk Dua Caleg Ini Segera Dicopot
"Payung hukum apa yang tidak membolehkan partai politik menginjakkan kaki untuk kampanye di rusun?" ujar anggota DPRD Jakarta dari Fraksi Nasional Demokrasi (Nasdem) Bestari Barus, saat rapat koordinasi dengan Bawaslu dan KPU Jakarta di Gedung DPRD, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Februari 2019.
Bestari merasa geram saat mendengar kabar kampanye tak bisa dilakukan di rusun. Ia mengatakan pelarangan itu membuat seolah-olah politik adalah barang haram yang tak boleh masuk ke pemukiman vertikal.
Awal mula pelarangan itu diketahui saat seorang calon legislatif mendatangi Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, untuk berkampanye. Namun calon itu ditolak oleh penghuni rumah susun itu. Alasannya, penghuni telah mendapat imbauan dari Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) Marunda untuk tak melakukan kegiatan kampanye.
Imbauan itu, kata Bestari, juga diiringi ancaman denda sebesar Rp 23 juta bagi yang melanggar. "Pengurus rusun bilang, boleh kampanye tapi di luar gerbang. Ini penghinaan pada politik kita," ujar dia.
Kepala Bidang Pembinaan, Penertiban, dan Peran Serta Masyarakat Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperkim) DKI Jakarta Meli Budiastuti membenarkan adanya larangan tersebut. Ia mengatakan UPRS bahkan sampai mencetak spanduk larangan tersebut.
Baca: Pengakuan Caleg PDIP Soal Pembuatan Tabloid Pembawa Pesan
Selain Bestari, anggota DPRD dari Fraksi Demokrat Neneng Hasanah juga memprotes larangan kampanye itu. Menurut dia, kampanye di rusun bukan hanya untuk mempromosikan caleg, tetapi juga meningkatkan partisipasi politik warga rusun. "Kalau mereka enggak kenal calonnya, bagaimana mereka bisa memilih calon anggota legislatif dan presidennya?" ujar Neneng.