TEMPO.CO, Jakarta - Kegagalan program swastanisasi air menyalurkan air bersih dituding ikut berperan pada penurunan permukaan tanah di Jakarta.
Baca: PAM Jaya Siap Jadi Pengelola Air Jakarta
Anggota Tim Tata Kelola Air DKI Jakarta Nila Ardhanie menyebut, program swastanisasi air yang tak mampu memperluas cakupan distribusi air bersih kepada warga menjadi salah satu penyebab penurunan permukaan tanah. Menurut Nila, pemerintah DKI dan pihak swasta gagal dalam pendistribusian air bersih.
"Kegagalan memperluas cakupan layanan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong warga menyedot air tanah," kata Nila dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo, Ahad, 3 Maret 2019.
Nila berujar, pihak swasta mengklaim, cakupan layanan mencapai 62 persen. Angka ini berbeda dengan temuan Amertha Institute.
Riset Amertha Institute menunjukkan, pihak swasta cuma menyalurkan 35 persen dari 62 persen cakupan itu. Dari angka itu, hanya 8 persen yang dialirkan ke pelanggan berpenghasilan rendah.
Baca Juga:
Karena itulah, Nila menekankan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus membuat rencana strategis untuk distribusi air 20 tahun ke depan. Tujuannya untuk menjamin pelayanan air bersih dirasakan oleh seluruh pelanggan.
"Yang terlayani hingga 100 persen, airnya layak diminum, terjangkau oleh warga dan mengalir selama 24 jam setiap hari," ucap Nila.
Advokat dari Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar menambahkan kegagalan negara dalam penyediaan air bersih merupakan bentuk pelanggaran konstitusi. Haris berpendapat, pemerintah dapat meminta bantuan hukum kepada negara lain guna menyelesaikan persoalan air di Jakarta.
Landasan hukumnya, yakni Pasal 2 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. "Landasan hukum internasional ini telah diratifikasi oleh Indonesia yang dapat digunakan Pemprov DKI," tutur Haris.
Pada 2017, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR mencatat, Jakarta mengalami penurunan muka tanah 5-12 cm per tahun. Jika laju penurunan muka tanah terus berlangsung, Jakarta akan semakin rentan tergenang air pasang dan banjir. Dampak lainnya adalah meningkatnya risiko kerusakan pada infrastruktur jalan dan jembatan, degradasi bangunan yang diikuti penurunan nilai properti.
Sebelumnya, pengelolaan air oleh perusahaan swasta atau disebut swastanisasi air dikeluhkan sejumlah warga. Warga merasa air yang tersalurkan ke rumahnya tak layak dikonsumsi sejak swastanisasi air. Saat ini, dua perusahaan swasta menjadi pengelola air di Jakarta, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) di wilayah barat dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) menangani wilayah timur.
Baca: 7 Tahun Polemik Swastanisasi Air di Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memastikan bakal mengambil alih pengelolaan air di Jakarta dari pihak swasta, yaitu Aetra dan Palyja, sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Koalisi menilai kinerja swasta tidak menguntungkan warga. Seharusnya pengelolaan air dilakukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).