TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 11,9 persen pelajar tingkat SMA dan SMK di Jakarta adalah pengguna aktif rokok elektronik atau vape. Angka itu didapat dari studi yang dilakukan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) pada 2018.
Baca juga:
Ganja dalam Rokok Elektronik, Polisi Periksa Toko Penjual Vape
Wakil Dekan III di fakultas itu, Mohamad Bigwanto, menerangkan studi kasus dilakukan terhadap 767 siswa SMA/SMK di Jakarta. Dari jumlah itu terungkap kalau lebih dari setengahnya (51,1%) adalah perokok aktif (rokok dan rokok elektronik) dan seperlimanya (20%) tidak pernah merokok sama sekali.
Bigwanto menyebutkan ada 8 SMA/SMK di Jakarta yang terlibat sebagai sampel penelitian dengan menggunakan metode pengambilan sampel kluster berjenjang tersebut. Mayoritas umur responden pada rentang 15-19 tahun dengan persentase 99,3%. "Tapi cukup mewakili populasi SMA dan SMK di Jakarta," katanya.
Berdasarkan data yang didapat, Bigwanto berpendapat pemerintah harus berupaya membatasi peredaran dan mengungkap informasi akan bahaya yang ditimbulkan rokok elektronik. Banyak negara di dunia, menurut dia, membuat regulasi khusus terhadap konsumsi rokok elektronik dan beberapa bahkan melarang.
Baca juga:
Narkoba Jenis Baru Beredar, Pengguna Rokok Elektronik Diincar
Dia menerangkan, banyak zat berbahaya yang tidak ada di rokok konvensional akan tetapi ada pada rokok elektronik. Contohnya, formaldehid yang punya potensi menyebabkan kanker. "Saat ini hampir semua industri rokok skala global mempunyai produk serupa rokok elektronik yang disebut heated tobacco product seperti IQOS dan Glo," ujar Bigwanto.
Tingginya pengguna rokok elektronik di kalangan remaja dengan begitu mengancam epidemi baru dari produk tembakau alternatif. Studi kasus yang dilakukan sekaligus membuktikan fenomena double burden dalam upaya pengendalian tembakau. "Prevalensi rokok konvensional yang enggak turun-turun ditambah prevalensi rokok elektronik yang terus naik," ujarnya.
DEVITA SAMALLO | ZW