Auliasa menjelaskan pembangunan Komplek Hankam Slipi telah dimulai sejak tahun 1966. Pembangunan rumah itu seiring dengan adanya perintah Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) kepada seluruh prajurit TNI tidak boleh lagi tinggal di hotel atau losmen.
Setelah keluarnya kebijakan itu, kata dia, seluruh prajurit TNI yang masih tinggal di hotel atau losmen diberikan dua pilihan, yakni menerima uang pesangong keluar hotel atau uang pesangon untuk dibangunkan rumah.
Orang tuanya Auliasa dan 11 orang tua penggugat lainnya memilih untuk dibangunkan rumah. Sedangkan, sebagian yang tinggal di hotel atau losmen ada yang memilih mengambil uang pesangon dan membangun sendiri rumah di tempat lain.
Uang pesangon yang diberikan pemerintah kepada anggota yang membangun rumah sendiri di luar Komplek Hankam sebesar Rp 750 ribu pada tahun 1969. "Yang mengambil pesangon membangun sendiri di luar komplek Hankam tidak ada masalah," ujarnya.
Sedangkan, saat ini rumah warisan dari orang tua Auliasa dan lainnya ingin diambil kembali oleh TNI karena diklaim sebagai rumah dinas. "Padahal rumah itu dibangun dari pesangon orang tua kami."
Auliasa menuturkan total ada 320 rumah di kawasan Komplek Hankam Slipi. Dari jumlah tersebut 34 di antaranya telah mendapatkan surat peringatan atau SP2 dari TNI untuk segera mengosongkan rumah.
Dari 34 yang mendapatkan SP2 tersebut, 22 rumah di antaranya saat ini telah diberi SP3. "Sebagian yang telah mendapatkan SP3 mengajukan telah mengajukan gugatan bersama kami," ucapnya.
Simak juga :
Tolak Pengosongan Rumah, Warga Kompleks Kodam Hadang Anggota TNI
Menurut dia, yang melakukan gugatan merupakan ahli waris yang telah yatim piatu yang rumahnya mau diambil alih TNI. Namun, warga melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perdata di PN Jaktim sejak Mei 2018.
Dalam persidangan selama ini, TNI belum bisa membuktikan kepemilikan rumah dinas TNI yang mereka klaim. "TNI hanya bisa menunjukan bukti sertifikat hamparan lahan seluas 12,8 hektar atas milik mereka," ujarnya.