TEMPO.CO, Jakarta -Badan Pengawas Pemilu alias Bawaslu Jakarta Timur masih menyelidiki pelanggaran pemilu yang diduga dilakukan calon anggota legislatif dari Partai Nasdem.
Caleg dapil enam berinisial WM itu melakukan kampanye di dalam kawasan gereja Huria Kristen Batak Protestan Cijantung, Pasar Rebo pada massa tenang, 14 April lalu.
Baca : Pelanggaran Pemilu, 4 TPS di Jaktim Berpotensi Coblos Ulang
Adapun dapil enam meliputi Kecamatan Pasar Rebo, Makasar, Ciracas dan Cipayung. "Kami masih pendalaman saksi. Saksi yang menyaksikan berasal dari pengawas TPS," kata Sakhroji saat dihubungi, Jumat, 19 April 2019.
Sakhroji mengatakan peserta pemilu yang kampanye di masa tenang bisa dijerat pelanggaran pidana pemilu. Larangan kampanye di dalam tempat ibadah tertuang di dalam pasal 280 ayat 1 huruf H Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Sedangkan jeratan hukumnya tertuang di pasal 521 UU Pemilu. Adapun hukumannya penjara di pasal tersebut paling lama dua tahun penjara dan denda Rp 24 juta. "Sejauh ini masih satu saksi yang kami periksa. Sebab kami masih memantau pelanggaran lain seusai pemilu kemarin."
Ia menuturkan caleg partai tersebut sepekan sebelumnya juga telah ditegur oleh pengawas karena melakukan hal yang sama, yakni kampanye di rumah ibadah dengan cara membagikan kartu nama. Isi kartu nama tersebut menuangkan visi misi dan nomor urutnya dalam pemilu tahun ini.
"Setelah temuan kami kuat. Caleg yang bersangkutan akan kami panggil."
Selain pelanggaran kampanye tersebut, Bawaslu juga sedang fokus membahas potensi pemungutan suara ulang (PSU) di empat wilayah. PSU berpotensi terjadi karena sejumlah pelanggaran dari tingkat Panitia Pemungutan Suara di kelurahan hingga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara di TPS.
"Sekarang potensi PSU di keempat TPS tersebut sedang dibahas di Bawaslu Jaktim," ujarnya.
Baca juga :
Ini Alasan Bawaslu DKI Sebut Cakung di Peta Kerawanan Pemilu 2019
Keempat PSU yang berpotensi mengadakan PSU berada di TPS 163 Pulogadung, TPS 2 Cipinang, TPS 64 Rawamangun dan TPS 64 Cilangkap. Ia menuturkan TPS 163 mesti menjalankan PSU lantaran surat suara tidak ditandatangani oleh ketua KPPS.
Di TPS itu, kata dia, PPS meminta pemilih untuk menandatangani surat suara. "Itu hal yang melanggar aturan. Jadi harus ada PSU."
Di tiga TPS lainnya berpotensi PSU karena banyak pemilih dari luar wilayah diberikan kesempatan untuk memilih.
Padahal, pemilih yang tidak berdomisili di lokasi TPS mesti mengantungi formulir A5. "Tapi di tiga TPS tersebut dibiarkan pemilih dari luar untuk mencoblos," ujarnya.