TEMPO.CO, Bogor - Wali Kota Bogor Bima Arya meminta KPU mengkaji ulang sistem pemilu serentak yang melelahkan sehingga dua ketua PPS meninggal di wilayahnya. Bahkan secara nasional, jumlah petugas pemilu yang meninggal karena sakit usai menjalankan tugasnya mencapai 199 orang.
Baca: Petugas KPPS Meninggal di Kabupaten Bogor Bertambah Menjadi 3, 14 Dirawat
"Ini jumlah korbannya cukup banyak, cukup masif kita evaluasi model serentak gini. Ada implikasi dari kesehatan, itu yang penting dievaluasi ke depan," ujar Wali Kota Bogor Bima Arya di Bogor, Rabu 24 April 2019.
Menurutnya, yang perlu digarisbawahi yaitu pengaturan batas usia para petugas pemilu. Melalui batas usia, sedikitnya bisa mengantisipasi timbulnya korban, mengingat mereka yang menjadi petugas pemilu mestinya berusia muda.
"Semua kebanyakan tokoh masyarakat yang sudah berumur, kebanyakan pensiunan. Ke depan kita perbaiki, sempurnakan dari segi usia. Anak-anak muda harus dilibatkan yang ketahanan fisiknya kuat," tuturnya.
Usulan itu timbul setelah Bima mengunjungi para petugas pemilu yang tengah dirawat dan ikut memakamkan petugas pemilu asal Kota Bogor yang meninggal, Selasa.
"Saya coba untuk menjenguk semuanya, penyebabnya hampir sama semuanya kelelahan. Saya secara cepat akan melihat kondisi penghitungan suara, jangan sampai ada yang dipaksakan. Kita tidak mau ada korban lagi di sini," kata Bima.
Ketua KPU Kota Bogor Samsudin menyebutkan, ada dua Ketua Ketua Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Kota Bogor meninggal dan enam lainnya dirawat akibat kelelahan.
Baca: Ketua PPS Meninggal di Bekasi Diberi Penghargaan
Dua ketua PPS meninggal adalah Ketua KPPS 75 Kelurahan Tegal Gundil, Anwar Sofyan, yang meninggal Selasa 23 April 2019. Satu lainnya adalah anggota KPPS 31 Kelurahan Bondongan, Rasti, yang meninggal Senin 22 April 2019. "Enam orang yang dirawat ada yang sakit, jatuh dari motor karena ngantuk patah tulang, ada yang dirawat di rumah dan di rumah sakit," ujar Samsudin.