TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara PT Aetra Air Jakarta Astriena Veracia, mengatakan pihaknya belum mendapat arahan dari pemerintah DKI setelah Komisi Pemberantasan Hukum (KPK) menilai ada potensi masalah hukum dalam head of agreement (HoA) swastanisasi air. Menurut Astriena, PT Aetra bakal mengikuti aturan hukum yang berlaku.
"Kita tunduk saja pada aturan yang berlaku. Artinya manapun yang terjadi kita akan ikuti saja," kata Astriena saat dihubungi Tempo, Jumat, 17 Mei 2019.
Baca: KPK Nilai HoA Anies dan Aetra Berpotensi Timbulkan Masalah Hukum
Astriena mengatakan akan memberikan informasi lebih lanjut setelah ada arahan dari pemerintah DKI. Dia menyebut pihaknya bakal mengikuti permintaan DKI. "Kan HoA kemarin juga berdasarkan permintaan dari DKI," kata dia.
KPK sebelumnya menyoroti perjanjian HoA pemerintah DKI Jakarta dengan PT Aetra Air Jakarta yang sudah ditandatangani Gubernur DKI Anies Baswedan. Juru bicara KPK Febri Diansyah menyatakan klausul dalam perjanjian tersebut berpotensi menimbulkan masalah hukum.
"Khususnya pemberian eksklusivitas kepada Aetra untuk mengelola air baku menjadi air bersih di DKI Jakarta. Klausul ini menunjukkan bahwa penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI," kata Febri seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 15 Mei 2019.
Baca: Soal Swastanisasi Air, KPK akan Kembali Bertemu dengan DKI
Febri mengingatkan agar klausul perjanjian pemerintah DKI dengan pihak swasta tidak melanggar aturan. Tak hanya itu, setiap poin HoA harus memberi keuntungan maksimum dalam aspek keuangan serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
KPK, kata Febri, juga menyoroti tiga poin lain. Salah satunya adalah faktor-faktor yang memunculkan klausul kontrak yang tidak mencerminkan kepentingan pemerintah. Poin selanjutnya, yaitu skenario penghentian swastanisasi air. Poin terakhir sehubungan dengan bisnis proses penyediaan pelayanan air bersih dan mekanisme kontrol PAM Jaya terhadap kegiatan operator Palyja dan Aetra.
Karena itu, KPK menjadwalkan lagi pertemuan dengan pemerintah DKI. KPK hendak menggali kebijakan yang diambil terkait penghentian swastanisasi air bersih di Jakarta serta mengklarifikasi berakhirnya kontrak DKI dengan dua perusahaan itu pada 2023.
Pertemuan pertama KPK dan pemerintah DKI berlangsung pada Jumat, 10 Mei 2019. KPK menilai ada yang janggal dengan swastanisasi air dari 1998 sampai Desember 2016. Dari paparan pemda, diketahui BUMD PAM Jaya membukukan kerugian Rp 1,2 triliun, sementara laba swasta tercatat Rp 4,3 triliun.