TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PAM Jaya Prayitno Bambang Hernowo tak dapat memastikan nasib perjanjian kerja sama alias head of agreement (HoA) dengan PT Aetra Air Jakarta setelah MoA dibedah dan dikritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Soal Swastanisasi Air, KPK akan Kembali Bertemu dengan DKI
Menurut Bambang, pihaknya harus mengetahui terlebih dulu apa potensi masalah hukum yang dimaksud komisi antirasuah itu. "Kita belum berandai-andai (membatalkan HoA atau tidak) karena kita perlu klarifikasi juga apa sebetulnya yang dimaksud dengan potensi hukum tadi," kata Bambang saat dihubungi Tempo, Jumat, 17 Mei 2019.
Bambang tak secara gamblang menyebut bakal menjalankan saran dari KPK. Meski begitu, menurut dia, setiap keputusan dan kebijakan PAM Jaya soal penghentian swastanisasi air akan didiskusikan dengan KPK.
Dia menambahkan, KPK sebelumnya tak spesifik membedah isi HoA PAM Jaya dengan Aetra. Pertemuan pertama antara Tim Evaluasi Tata Kelola Air dan KPK berlangsung pada Jumat, 10 Mei 2019.
Setelah pertemuan itu, Bambang menyampaikan, KPK lebih banyak memberi saran mengenai rencana pengelolaan air ke depannya setelah kontrak dengan Aetra dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) berakhir pada 2023.
"Kita kemudian melihat bagaimana langkah-langkah yang harus kita lakukan dan kemudian strateginya seperti apa berdasarkan masukan-masukan dari KPK itu," papar dia.
KPK sedang mencermati risiko klausul perjanjian kerja sama yang dianggap tak berpihak pada kepentingan pemerintah DKI dan masyarakat. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, berujar pihaknya mendapat aduan dari masyarakat mengenai swastanisasi air di Jakarta.
Baca juga: Aduan Swastanisasi Air, KPK Warning Anies Baswedan
Setelah pertemuan pertama itu, KPK akan kembali mengundang Tim Tata Kelola Air, termasuk PAM Jaya,untuk mengetahui kebijakan-kebijakan DKI terkait penghentian swastanisasi air. KPK menganggap adanya potensi masalah hukum dalam klausul perjanjiajn HoA dengan Aetra yang sudah ditandatangani Gubernur DKI Anies Baswedan pada 12 April 2019. "Klausul ini menunjukkan bahwa penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI," ucap Febri.