Sengketa itu lalu bergulir ke tingkat banding hingga kasasi dan dimenangkan oleh Pemprov DKI. Baik PT TUN dan Mahkamah Agung membatalkan gugatan PT BPH karena perusahaan tersebut tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah sertipikat objek sengketa yang telah dibebaskan untuk kepentingan pembangunan prasarana umum (jalur hijau) dan telah dilakukan konsinyasi di Pengadilan Negeri Jakarat Utara.
Tak menyerah sampai di situ, pada 2017 PT BPH kembali mengajukan gugatan ke PN Jakarta Utara, tapi yang kali ini menjadi obyek adalah Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BP3L) Sunter DKI. Badan itu merupakan pihak yang melakukan konsinyasi tahun 1994.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 304/PDT.G/2017/PN.JKT.UTR, tgl. 7 September 2017, gugatan itu dikabulkan sebagian. Pengadilan memutus konsinyasi BP3L melawan hukum dan membatalkannya, serta menyatakan PT BPH sebagai pihak yang berhak atas tanah seluas 69.472 meter persegi di Taman BMW. Putusan ini incraht atau berkekuatan hukum tetap.
"Konsinyasi itu dinyatakan melawan hukum, karena hanya bisa dilakukan terhadap tanah milik bersama di mana salah satu pihak tidak diketahui keberadaaannya. Tapi PT Buana dari dulu ada di situ," ujar Damianus.
Seorang warga melintas di lahan Taman BMW di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 4 Desember 2018. Tempo/Imam Hamdi
Akan tetapi saat proses sidang sengketa itu berlangsung, Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara justru menerbitkan Sertifikat Hak Pakai bernomor 314 dan 315 Kelurahan Papanggo atas nama Pemerintah RI Cq Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 18 Agustus 2017. Sertifikat 314 memiliki luas 29.256 meter persegi dan SHP 315 seluas 66.199 meter persegi.